2010–2019
Melindungi Anak-Anak
Oktober 2012


Melindungi Anak-Anak

Hendaknya tidak seorang pun menolak imbauan agar kita bersatu untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap kesejahteraan dan masa depan anak-anak kita—generasi penerus.

Kita semua dapat mengingat perasaan kita ketika seorang anak kecil berteriak dan meminta pertolongan kepada kita. Bapa Surgawi yang penuh kasih memberi kita perasaan untuk mendorong kita membantu anak-anak-Nya. Cobalah ingat perasaan tersebut sementara saya berbicara mengenai tanggung jawab kita untuk melindungi dan bertindak untuk kesejahteraan anak-anak.

Saya berbicara dari sudut pandang Injil Yesus Kristus, termasuk rencana keselamatan-Nya. Itu adalah kapasitas saya. Pemimpin Gereja lokal memiliki tanggung jawab untuk satu batas kewenangan, seperti lingkungan atau pasak, tetapi seorang Rasul bertanggung jawab untuk memberikan kesaksian kepada seluruh dunia. Di setiap negara, dari setiap ras dan keyakinan, semua anak adalah anak-anak Allah.

Meskipun saya tidak berbicara mengenai kebijakan politik atau publik, seperti pemimpin-pemimpin lainnya Gereja, saya tidak bisa berbicara untuk kesejahteraan anak-anak tanpa implikasi atas pilihan yang dibuat oleh warga, pejabat publik, dan pekerja di organisasi-organisasi swasta. Kita semua berada di bawah perintah Juruselamat untuk mengasihi dan mengurus satu sama lain, dan khususnya untuk mereka yang lemah dan tidak berdaya.

Anak-anak sangat rentan. Mereka memiliki sedikit kekuatan atau tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk melindungi atau menafkahi diri mereka sendiri dan memiliki sedikit pengaruh terhadap begitu banyak yang penting bagi kesejahteraan mereka. Anak-anak membutuhkan orang lain untuk berbicara membela kepentingan mereka, dan mereka membutuhkan pembuat keputusan yang lebih mengutamakan kesejahteraan mereka daripada kepentingan egois orang dewasa.

I.

Di seluruh dunia, kita terkejut atas jutaan anak-anak yang menjadi korban kejahatan dan egoisme orang dewasa yang jahat.

Di sejumlah negara yang tercabik-cabik oleh perang, anak-anak diculik untuk melayani sebagai prajurit dalam tentara yang berperang.

Sebuah laporan PBB memperkirakan bahwa lebih dari dua juta anak-anak menjadi korban setiap tahun melalui prostitusi dan pornografi.1

Dari sudut pandang rencana keselamatan, salah satu perundungan paling serius terhadap anak-anak adalah menolak kelahiran mereka. Ini adalah kecenderungan yang melanda dunia. Tingkat kelahiran nasional di Amerika Serikat adalah yang terendah dalam 25 tahun,2 dan tingkat kelahiran di kebanyakan negara Eropa dan Asia adalah di bawah tingkat pertumbuhan selama bertahun-tahun. Ini bukan saja isu keagamaan. Generasi-generasi penerus berkurang dalam jumlah, budaya dan bahkan bangsa-bangsa kehilangan penduduk dan pada akhirnya musnah.

Salah satu penyebab berkurangnya tingkat kelahiran adalah praktik aborsi. Di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari 40 juta aborsi terjadi setiap tahun.3 Banyak undang-undang mengizinkan atau bahkan menganjurkan aborsi, tetapi bagi kita ini adalah kejahatan besar. Perundungan lain terhadap anak-anak yang terjadi selama kehamilan adalah pelemahan janin yang diakibatkan oleh gizi yang tidak mencukupi atau penggunaan obat-obatan oleh ibu hamil.

Terdapat ironi yang menyedihkan di mana anak-anak dalam jumlah yang begitu banyak dibunuh atau dicederai sebelum lahir sementara begitu banyak pasangan nikah yang tidak berkesempatan memiliki anak merindukan dan menginginkan bayi untuk diadopsi.

Perundungan masa kanak-kanak atau pengabaian anak-anak yang terjadi setelah kelahiran semakin banyak terlihat. Di seluruh dunia, hampir delapan juta anak-anak meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka, kebanyakan akibat penyakit baik yang dapat diobati maupun yang dapat dicegah.4 Dan Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa satu di antara empat anak memiliki pertumbuhan yang terhambat, secara mental dan fisik, karena kurang gizi.5 Tinggal dan sering mengadakan perjalanan ke luar negeri, kami para pemimpin Gereja melihat banyak kejadian ini. Presidensi umum Pratama melaporkan anak-anak yang hidup dalam kondisi yang “tidak bisa kami bayangkan.” Seorang ibu di Filipina mengatakan, “Terkadang kami tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan, tetapi itu tidak apa-apa karena itu memberi kami kesempatan untuk mengajar anak-anak kami tentang iman. Kami berkumpul dan berdoa memohon bantuan, dan anak-anak melihat Tuhan memberkati kami.”6 Di Afrika Selatan, seorang pekerja Pratama bertemu dengan seorang anak gadis kecil, sendirian dan sedih. Dalam keadaan lesu dia menjawab pertanyaan kami, dia berkata bahwa dia tidak memiliki ibu, ayah, dan nenek—hanya seorang kakek yang mengurusnya.7 Tragedi-tragedi semacam itu lazim terjadi di benua di mana banyak pengasuh telah meninggal karena penyakit AIDS.

Bahkan di negara-negara kaya anak-anak kecil dan remaja dirugikan karena diabaikan. Anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan memiliki kesempatan perawatan kesehatan yang buruk dan pendidikan yang tidak memadai. Mereka juga terpapar pada lingkungan yang berbahaya dalam lingkungan fisik dan budaya mereka dan bahkan akibat pengabaian oleh orang tua mereka. Penatua Jeffrey R. Holland baru-baru ini membagikan pengalaman mengenai seorang perwira polisi OSZA. Dalam investigasi dia menemukan lima anak kecil berhimpitan bersama dan mencoba untuk tidur tanpa kasur dan selimut di lantai yang kotor di tempat tinggal di mana ibu mereka dan orang-orang lain sedang minum-minum dan berpesta. Apartemen tersebut tidak memiliki makanan untuk memuaskan rasa lapar mereka. Setelah menyelimuti anak-anak tersebut dalam sebuah tempat tidur sementara, perwira tersebut berlutut dan berdoa untuk perlindungan mereka. Sewaktu dia berjalan menuju pintu, salah satu dari mereka, kira-kira berumur enam tahun, mengejar dia, memegang tangannya, dan memohon, “Tolonglah adopsi saya.”8

Kita mengingat ajaran Juruselamat sewaktu Dia menempatkan seorang anak kecil di hadapan para pengikut-Nya dan menyatakan,

“Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.

Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut” (Matius 18:5–6).

Ketika kita mempertimbangkan bahaya-bahaya yang darinya anak-anak harus dilindungi, kita juga hendaknya menyertakan perundungan psikologis. Orang tua atau pengasuh lain atau guru atau teman sebaya yang merendahkan, menindas, atau mempermalukan anak-anak atau remaja dapat menimbulkan cedera yang lebih permanen daripada cedera fisik. Membuat seorang anak atau remaja merasa tidak berharga, tidak dikasihi, atau tidak diinginkan dapat menimbulkan cedera serius dan membekas terhadap kesejahteraan dan perkembangan emosionalnya.9 Orang-orang muda yang sedang bergumul dengan kondisi yang tidak lazim apa pun, termasuk ketertarikan pada sesama jenis, sangat rentan dan membutuhkan pemahaman yang penuh kasih—bukan ditindas atau diasingkan.10

Dengan bantuan dari Tuhan, kita dapat bertobat dan berubah dan menjadi lebih mengasihi dan lebih membantu anak-anak—anak-anak kita sendiri dan anak-anak di sekeliling kita.

II.

Ada beberapa contoh tentang ancaman fisik atau emosional terhadap anak-anak yang perlu diperhatikan sebagaimana halnya dengan mereka yang bangkit kembali dari hubungan mereka dengan orang tua atau wali mereka. Presiden Thomas S. Monson telah berbicara mengenai apa yang dia sebut “perbuatan keji” dari perundungan anak, di mana orang tua telah mematahkan atau membuat cacat seorang anak, secara fisik atau emosional.11 Saya sedih sewaktu saya harus mempelajari bukti yang mengejutkan mengenai kasus-kasus seperti itu saat saya melayani dalam Mahkamah Agung Utah.

Hal yang paling penting mengenai kesejahteraan anak-anak adalah apakah orang tua mereka menikah, sifat dan jangka waktu pernikahan, dan, lebih luas lagi, budaya dan harapan-harapan pernikahan dan pengurusan anak di tempat mereka tinggal. Dua pakar mengenai keluarga menjelaskan, “Di sepanjang sejarah, pernikahan telah menjadi lembaga pertama dan yang terutama untuk prokreasi dan membesarkan anak-anak. Lembaga ini telah memberikan ikatan budaya yang berusaha menghubungkan antara ayah dengan anak-anaknya dengan mengikat dia pada ibu dari anak-anaknya. Namun, di masa kini, anak-anak semakin terdorong ke luar dari panggung keluarga ini.”12

Seorang profesor hukum Universitas Harvard menggambarkan mengenai hukum dan sikap saat ini terhadap pernikahan dan perceraian, “Cerita orang Amerika [saat ini] mengenai pernikahan, seperti yang diceritakan dalam hukum dan dalam banyak literatur yang populer, adalah sebagai berikut: pernikahan adalah hubungan yang ada terutama sekali untuk memenuhi kebutuhan pasangan individu masing-masing. Jika pernikahan tersebut tidak lagi melaksanakan fungsi ini, tidak seorang pun yang perlu disalahkan dan salah satu pihak dari pasangan boleh membatalkannya sesuai dengan keinginannya .… Anak-anak hampir tidak terlihat sama sekali dalam cerita ini; dalam kebanyakan kasus mereka agaknya hanya sebagai karakter bayangan dalam latar belakang.”13

Pemimpin Gereja kita telah mengajarkan bahwa memandang pernikahan “hanya sekadar kontrak yang boleh dibuat sesuka hati … dan kemudian diputuskan saat mengalami kesulitan pertama … adalah suatu kejahatan yang pantas menerima hukuman berat,” terutama sekali ketika “anak-anak menjadi korban yang menderita.”14 Dan anak-anak terkena dampak oleh perceraian. Lebih dari setengah perceraian yang terjadi di tahun belakangan melibatkan pasangan-pasangan yang memiliki anak kecil.15

Banyak di antara anak-anak menginginkan berkat dari dibesarkan oleh kedua orang tua mereka jika saja orang tua mereka telah mengikuti ajaran yang diilhami dalam maklumat kepada dunia mengenai keluarga, “Suami dan istri memiliki tanggung jawab kudus untuk mengasihi dan memelihara satu sama lain dan bagi anak-anak mereka .… Orang tua memiliki kewajiban kudus untuk membesarkan anak-anak mereka dalam kasih dan kebenaran, memenuhi kebutuhan fisik dan rohani mereka, dan mengajar mereka untuk saling mengasihi dan melayani.”16 Ajaran yang paling kuat untuk anak-anak adalah melalui teladan orang tua mereka. Orang tua yang bercerai pastilah akan memberikan pelajaran yang negatif.

Tentu saja ada kasus-kasus ketika perceraian diperlukan untuk kebaikan anak-anak, tetapi kondisi seperti itu adalah pengecualian.17 Dalam kebanyakan perselisihan pernikahan, orang tua yang bertengkar hendaknya memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kepentingan anak-anak. Dengan bantuan Tuhan, mereka dapat melakukannya. Anak-anak membutuhkan kekuatan emosional dan pribadi yang datang dari dibesarkan oleh dua orang tua yang bersatu dalam pernikahan dan tujuan mereka. Sebagai seseorang yang dibesarkan oleh ibu janda, secara pribadi saya mengetahui bahwa ini tidak selalu dapat dicapai, tetapi ini adalah keadaaan ideal yang hendaknya diupayakan kapan saja memungkinkan.

Anak-anak adalah korban pertama dari undang-undang yang ada saat ini yang mengizinkan apa yang disebut “perceraian tanpa kesalahan.” Dari sudut pandang anak-anak, perceraian dilakukan terlalu mudah. Dengan merangkum riset ilmiah sosial selama berpuluh-puluh tahun, seorang cendekiawan yang cermat menyimpulkan bahwa “struktur keluarga yang memberikan hasil paling baik bagi anak-anak, rata-rata, adalah dari dua orang tua biologis yang tetap menikah.”18 Seorang penulis surat kabar New York Times mencatat “fakta yang mencolok meskipun pernikahan tradisional telah menurun di Amerika Serikat … bukti telah meningkat mengenai pentingnya lembaga pernikahan bagi kesejahteraan anak-anak.”19 Kenyataan tersebut hendaknya memberikan petunjuk penting kepada orang tua dan calon orang tua dalam membuat keputusan yang melibatkan pernikahan dan perceraian. Kita juga membutuhkan politisi, pembuat kebijakan, dan pejabat-pejabat untuk meningkatkan perhatian mereka terhadap apa yang paling baik bagi kepentingan anak-anak daripada para pemilih dan pendukung vokal yang lebih mementingkan kepentingan orang dewasa.

Anak-anak juga menjadi korban dari pernikahan yang tidak terjadi. Beberapa data mengenai kesejahteraan generasi penerus kita lebih mengganggu daripada laporan terakhir di mana 41 persen dari semua kelahiran di Amerika Serikat adalah dari wanita yang tidak menikah.20 Ibu yang tidak menikah memiliki tantangan yang sangat besar, dan buktinya jelas bahwa anak-anak mereka berada dalam posisi yang sangat dirugikan jika dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang menikah.21

Kebanyakan anak-anak dilahirkan dari ibu yang tidak menikah—58 persen—dilahirkan dari pasangan yang tinggal bersama.22 Apa pun yang mereka katakan mengenai pasangan ini, studi menunjukkan bahwa anak-anak mereka mengalami penderitaan yang relatif signifikan.23 Bagi anak-anak, pernikahan yang relatif stabil adalah penting.

Kita juga memiliki asumsi yang sama mengenai kerugian-kerugian yang dialami anak-anak yang dibesarkan oleh pasangan dari sesama jenis. Media cetak ilmiah sosial memberikan informasi yang kontroversial dan bermuatan politik mengenai dampak jangka panjang dari pernikahan sesama jenis ini terhadap anak-anak, terutama sekali karena, seperti yang diamati oleh penulis surat kabar New York Times, “pernikahan sesama jenis adalah eskperimen sosial, dan seperti kebanyakan eksperimen ini akan membutuhkan waktu untuk memahami konsekuensi-konsekuensinya.”24

III.

Saya telah berbicara untuk anak-anak—anak-anak di mana pun mereka berada. Sejumlah orang mungkin menolak beberapa dari contoh ini, tetapi hendaknya tidak seorang pun menolak imbauan agar kita bersatu untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap kesejahteraan dan masa depan anak-anak kita—generasi penerus.

Kita berbicara mengenai anak-anak Allah, dan dengan bantuan-Nya yang kuat, kita dapat berbuat lebih banyak untuk membantu mereka. Dalam imbauan ini saya berbicara tidak saja kepada para Orang Suci tetapi juga kepada semua orang dari agama lain dan orang-orang lain yang memiliki sistem nilai yang menyebabkan mereka mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi kepentingan orang lain, terutama untuk memenuhi kesejahteraan anak-anak.25

Orang-orang yang taat agama juga mengetahui mengenai ajaran Juruselamat dalam Perjanjian Baru bahwa anak-anak kecil yang murni adalah teladan kita dalam hal kerendahan hati dan kemudahan untuk diajar.

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3–4).

Dalam Kitab Mormon kita membaca mengenai Tuhan yang telah dibangkitkan mengajar orang-orang Nefi bahwa mereka harus bertobat dan dibaptis “dan menjadi seperti anak kecil” atau mereka tidak dapat mewarisi kerajaan Allah (3 Nefi 11:38; lihat juga Moroni 8:10).

Saya berdoa agar kita bersedia merendahkan hati kita seperti anak-anak kecil dan membantu untuk melindungi anak-anak kecil kita, karena mereka adalah masa depan, untuk kita, untuk Gereja kita, dan untuk negara kita. Dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. Lihat UNICEF, The State of the World’s Children 2005: Childhood under Threat (2004), 26.

  2. Lihat Haya El Nasser, “National Birthrate Lowest in 25 Years,” USA Today, 26 Juli 2012, A1.

  3. Lihat Gilda Sedgh dan lainnya “Induced Abortion: Incidence and Trends Worldwide from 1995 to 2008,” The Lancet, jilid 379, no. 9816 (18 Februari 2012): 625–632.

  4. Lihat UNICEF, “Young Child Survival and Development,” http://www.unicef.org/childsurvival/index.html.

  5. Lihat World Health Organization, World Health Statistics 2012 (2012), 109, 118.

  6. Laporan presidensi umum Pratama, 13 September 2012.

  7. Laporan presidensi umum Pratama.

  8. Lihat Jeffrey R. Holland, “Israel, Allahmu Memanggil,” (kebaktian Church Educational System untuk dewasa muda, 9 September 2012), si.lds.org/broadcasts; lihat juga R. Scott Lloyd, “Zion Not Only Where, but How We Live, Kata Penatua Holland,” Deseret News, 10 September 2012, B2.

  9. Lihat Kim Painter, “Parents Can Inflict Deep Emotional Harm,” USA Today, 30 Juli 2012, B8; Rachel Lowry, “Mental Abuse as Injurious as Other Forms of Child Abuse, Study Shows,” Deseret News, 5 Agustus 2012, A3.

  10. Lihat “End the Abuses,” Deseret News, 12 Juni 2012, A10.

  11. Thomas S. Monson, “A Little Child Shall Lead Them,” Liahona, Juni 2002, 2.

  12. W. Bradford Wilcox and Elizabeth Marquardt, edisi The State of Our Unions: Marriage in America (2011), 82.

  13. Mary Ann Glendon, Abortion and Divorce in Western Law: American Failures, European Challenges (1987), 108.

  14. David O. McKay, “Structure of the Home Threatened by Irresponsibility and Divorce,” Improvement Era, Juni 1969, 5.

  15. Lihat Diana B. Elliott and Tavia Simmons, “Marital Events of Americans: 2009,” American Community Survey Reports, Agustus 2011.

  16. “Keluarga: Maklumat Kepada Dunia,” Liahona, November 2010, 129.

  17. Lihat Dallin H. Oaks, “Perceraian,” Liahona, Mei 2007, 71.

  18. Charles Murray, Coming Apart: The State of White America, 1960–2010 (2012), 158.

  19. Ross Douthat, “Gay Parents and the Marriage Debate,” New York Times, 11 Juni 2012, http://douthat.blogs.nytimes.com/2012/06/11/gay-parents-and-the-marriage-debate..

  20. Lihat Joyce A. Martin dan lainnya, “Births: Final Data for 2010,” National Vital Statistics Reports, jilid 61, no. 1 (Agustus, 2012), 10.

  21. Lihat William J. Doherty dan lainnya, Why Marriage Matters: Twenty-One Conclusions from the Social Sciences (2002); W. Bradford Wilcox dan lainnya, Why Marriage Matters: Thirty Conclusions from the Social Sciences, edisi ke 3, (2011).

  22. Lihat Martin, “Births: Final Data for 2010,” 10–11.

  23. Lihat Wilcox, Why Marriage Matters.

  24. Ross Douthat, “Gay Parents and the Marriage Debate.” Studi terkini dan paling menyeluruh menemukan kerugian-kerugian signifikan yang dilaporkan oleh dewasa muda yang memiliki orang tua yang memiliki hubungan dengan sesama jenis sebelum anak berusia 18 (lihat Mark Regnerus, “How Different Are the Adult Children of Parents Who Have Same-Sex Relationships? Temuan-temuan dari Studi Struktur Keluarga Baru,” Social Science Research, jilid 41 [2012], 752–770).

  25. Orang Suci Zaman Akhir memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap peran sebagai orang tua sebagai salah satu dari tujuan paling penting dalam kehidupan (lihat Pew Research Center’s Forum on Religion and Public Life, Mormons in America: Certain in Their Beliefs, Uncertain of Their Place in Society, 12 Januari 2012, 10, 16, 51).