2015
Imamat—Karunia Sakral
Mei 2015


Imamat—Karunia Sakral

Kita masing-masing telah dipercayakan dengan satu karunia paling berharga yang pernah dianugerahkan ke atas umat manusia.

Salah satu kenangan paling jelas bagi saya adalah menghadiri pertemuan imamat sebagai seorang diaken yang baru saja ditahbiskan dan menyanyikan nyanyian pujian pembuka, Mari anak Allah, yang t’lah t’rima imamat.”1 Malam ini, kepada semua yang berkumpul di sini di Pusat Konferensi dan, tentu saja, di seluruh dunia, saya mengulangi semangat dari nyanyian pujian spesial ini dan mengatakan kepada Anda: Mari anak Allah, yang t’lah t’rima imamat, marilah kita pikirkan pemanggilan kita; marilah kita renungkan tanggung jawab kita; marilah kita menentukan tugas kita; dan marilah kita mengikuti Yesus Kristus, Tuhan kita. Sementara kita mungkin berbeda dalam usia, dalam adat istiadat, atau dalam kebangsaan, kita dipersatukan dalam pemanggilan imamat kita.

Bagi kita masing-masing, pemulihan Imamat Harun kepada Oliver Cowdery dan Joseph Smith oleh Yohanes Pembaptis adalah paling signifikan. Demikian juga, pemulihan Imamat Melkisedek kepada Joseph dan Oliver oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes adalah peristiwa yang dihargai.

Marilah kita menanggapi secara serius pemanggilan, tanggung jawab, dan tugas yang datang bersama imamat yang kita pegang.

Saya merasakan tanggung jawab besar ketika saya dipanggil menjadi sekretaris dari kuorum diaken saya. Saya mempersiapkan dengan sangat teliti catatan yang saya buat, karena saya ingin melakukan yang terbaik sejauh pengetahuan saya dalam pemanggilan tersebut. Saya sangat bangga dengan pekerjaan saya. Melakukan semua semampu saya, dengan kemampuan terbaik saya, telah menjadi gol saya di setiap penugasan yang pernah saya pegang.

Saya harap setiap remaja putra yang telah ditahbiskan dalam Imamat Harun diberi kesadaran rohani mengenai kesakralan pemanggilannya yang ditahbiskan padanya, begitu juga dengan kesempatan untuk meningkatkan pemanggilan tersebut. Saya menerima kesempatan semacam itu sebagai diaken ketika keuskupan meminta saya membawakan sakramen kepada orang yang tidak dapat meninggalkan rumah, yang tinggal sekitar satu mil dari gedung pertemuan. Pada Minggu pagi spesial itu, sewaktu saya mengetuk pintu rumah Brother Wright dan mendengar suara lemahnya memanggil, “Masuklah,” saya memasuki bukan saja pondok yang sederhana tetapi ruangan yang dipenuhi dengan Roh Tuhan. Saya mendekati sisi tempat tidur Brother Wright dan dengan hati-hati menaruh sepotong roti di bibirnya. Saya kemudian mengangkat gelas air, agar dia dapat meminumnya. Sewaktu saya akan pergi, saya melihat air mata di matanya sewaktu dia berkata, “Allah memberkatimu, anakku.” Dan Allah telah memberkati saya—dengan penghargaan bagi lambang-lambang sakral dari sakramen dan bagi imamat yang saya pegang.

Tidak ada diaken, pengajar, atau imam dari lingkungan kami yang pernah melupakan kenangan kunjungan yang kami lakukan ke Clarkston, Utah, ke makam Martin Harris, salah seorang dari Tiga Saksi Kitab Mormon. Sewaktu kami mengelilingi poros granit tinggi yang menandai makamnya, dan sewaktu seorang pemimpin kuorum membacakan kepada kami perkataan yang merasuk hati dari “Kesaksian Tiga Saksi,” yang ditemukan di awal Kitab Mormon, kami mengembangkan kasih bagi catatan sakral dan bagi kebenaran yang ditemukan di dalamnya.

Selama tahun-tahun tersebut tujuan kami adalah untuk menjadi seperti para putra Mosia. Mengenai mereka dikatakan:

“Mereka telah menjadi kuat dalam pengetahuan tentang kebenaran; karena mereka adalah para pria yang berpengertian sehat dan mereka telah menyelidiki tulisan suci dengan tekun, agar mereka boleh mengetahui firman Allah.

Tetapi ini belumlah semuanya; mereka telah memberikan diri mereka sendiri pada banyak doa, dan puasa; oleh karena itu mereka memiliki roh nubuat, dan roh wahyu, dan bilamana mereka mengajar, mereka mengajar dengan kuasa dan wewenang dari Allah.”2

Saya tidak dapat memikirkan gol yang lebih layak untuk dimiliki seorang remaja putra daripada untuk digambarkan seperti para putra Mosia yang berani dan saleh.

Menjelang ulang tahun saya yang ke-18 dan bersiap untuk memasuki pelayanan wajib militer yang diminta dari para remaja putra selama Perang Dunia II, saya direkomendasikan untuk menerima Imamat Melkisedek, tetapi terlebih dahulu saya harus menelepon presiden pasak saya, Paul C. Child, untuk wawancara. Dia adalah orang yang mengasihi dan memahami tulisan suci, dan adalah tujuannya agar semua orang hendaknya juga mengasihi dan memahaminya. Mendengar dari beberapa teman saya mengenai wawancaranya yang cenderung detail dan menyelidik, saya mengharapkan pemaparan minimum dari pengetahuan tulisan suci saya; karenanya, ketika saya menelepon dia saya menyarankan untuk bertemu di hari Minggu berikutnya pada waktu yang saya tahu hanya ada satu jam sebelum waktu pertemuan sakramennya.

Tanggapannya: “Oh, Brother Monson, itu tidak akan memberi kita cukup waktu untuk membaca tulisan suci dengan teliti.” Dia kemudian menyarankan tiga jam sebelum pertemuan sakramennya, dan dia memerintahkan saya untuk membawa bersama saya tiga serangkai tulisan suci saya yang sudah saya tandai dan tulisi rujukan secara pribadi

Ketika saya tiba di rumahnya hari Minggu, saya disambut dengan hangat, dan kemudian wawancara dimulai. Presiden Child menuturkan, “Brother Monson, Anda memegang Imamat Harun. Pernahkah Anda mendapatkan pelayanan para malaikat?” Saya menjawab belum pernah. Ketika dia bertanya apakah saya tahu bahwa saya berhak bagi itu, saya kembali menjawab saya tidak tahu.

Dia memberi petunjuk, “Brother Monson, ulangi dari ingatan bagian 13 dari Ajaran dan Perjanjian.”

Saya memulai, “‘Ke atas dirimu para hamba sesamaku, dalam nama Mesias aku menganugerahkan Imamat Harun yang memegang kunci-kunci pelayanan para malaikat—’”

“Stop,” Presiden Child mengarahkan. Kemudian dengan nada tenang dan ramah, dia menasihati, “Brother Monson, jangan pernah lupa bahwa sebagai pemegang Imamat Harun Anda berhak bagi pelayanan para malaikat.”

Itu hampir seolah-olah malaikat ada dalam ruangan tersebut pada hari itu. Saya tidak pernah melupakan wawancara tersebut. Saya masih merasakan roh dari kejadian khusyuk itu sewaktu kami bersama membaca tanggung jawab, tugas, dan berkat dari Imamat Harun dan Imamat Melkisedek—berkat yang datang tidak saja kepada kita namun juga kepada keluarga kita dan kepada orang-orang yang kita akan memiliki kesempatan istimewa untuk layani.

Saya ditahbiskan sebagai penatua, dan pada hari keberangkatan saya untuk tugas aktif di angkatan laut, seorang anggota dari keuskupan lingkungan saya bergabung dengan keluarga dan teman-teman saya di stasiun kereta untuk mengucapkan selamat jalan. Sesaat sebelum kereta berangkat, dia menaruh dalam tangan saya sebuah buku kecil berjudul Buku Pegangan Misionaris. Saya tertawa dan berkomentar bahwa saya tidak pergi untuk misi.

Dia menjawab, “Bawa sajalah. Itu mungkin berguna.”

Benar. Saya memerlukan benda keras persegi panjang untuk ditaruh di bagian bawah ransel pelaut saya agar pakaian saya tetap teratur dan karenanya tidak terlalu kusut. Adalah Buku Pegangan Misionaris yang saya perlukan, dan itu melayani dengan baik dalam ransel pelaut saya selama 12 minggu.

Malam sebelum liburan Natal kami, benak kami adalah tentang rumah. Barak sunyi, namun kemudian kesunyian pecah oleh teman saya di tempat tidur yang berdekatan—seorang anak lelaki Mormon, Leland Merrill—yang mulai merintih kesakitan. Saya bertanya mengenai alasannya, dan dia berkata bahwa dia merasa sangat kesakitan. Dia tidak mau pergi ke klinik pangkalan, karena dia tahu bahwa dengan melakukannya akan mencegah dia dari pulang ke rumah keesokan harinya.

Dia tampak semakin parah seiring waktu berlalu. Akhirnya, mengetahui bahwa saya adalah seorang penatua, dia meminta saya untuk memberikan kepadanya berkat imamat.

Saya belum pernah sebelumnya memberikan berkat, saya belum pernah menerima berkat, dan saya belum pernah menyaksikan sebuah berkat diberikan. Sewaktu saya berdoa dalam hati untuk bantuan, saya teringat Buku Pegangan Misionaris di bagian bawah ransel pelaut saya. Segera saya mengosongkan ransel dan mengambil buku mendekat ke lampu malam. Di sana saya membaca bagaimana seorang memberkati yang sakit. Dengan banyak pelaut memandang ingin tahu, saya melanjutkan dengan pemberkatan. Sebelum saya menaruh segala sesuatu kembali ke dalam ransel saya, Leland Merrill telah tertidur seperti anak kecil. Dia terbangun pada pagi harinya merasa baik-baik saja. Rasa syukur yang kami masing-masing rasakan untuk kuasa imamat sangat besar.

Tahun-tahun telah memberikan kepada saya lebih banyak kesempatan untuk menyediakan berkat bagi mereka yang membutuhkan daripada yang dapat saya hitung. Setiap kesempatan telah membuat saya bersyukur secara mendalam bahwa Allah telah memercayakan kepada saya karunia sakral ini. Saya menghargai imamat. Saya telah menyaksikan kuasanya berkali-kali. Saya telah melihat kekuatannya. Saya mengagumi mukjizat yang telah dibuatnya.

Brother sekalian, kita masing-masing telah dipercayakan dengan satu karunia paling berharga yang pernah dianugerahkan ke atas umat manusia. Sewaktu kita menghormati imamat kita dan menjalankan kehidupan kita sedemikian sehingga kita layak setiap waktu, berkat-berkat dari imamat akan mengalir melalui kita. Saya mengasihi firman yang terdapat dalam Ajaran dan Perjanjian 121, ayat 45, yang memberi tahu kita apa yang harus kita lakukan untuk menjadi layak: “Biarlah sanubarimu … penuh kasih amal terhadap semua orang, dan kepada kaum beriman, dan biarlah kebajikan mengisi pikiranmu dengan tidak ada hentinya, maka rasa percayamu akan menjadi kuat di hadirat Allah; dan ajaran keimamatan akan menitik ke atas jiwamu bagaikan embun dari langit.”

Sebagai para pemegang imamat Allah, kita terlibat dalam pekerjaan Tuhan Yesus Kristus. Kita telah menjawab panggilan-Nya; kita ada dalam tugas suruhan-Nya. Marilah kita belajar dari Dia. Marilah kita mengikuti jejak-Nya. Marilah kita menjalankan ajaran-Nya. Dengan melakukannya, kita akan dipersiapkan untuk pelayanan apa pun di mana Dia memanggil kita untuk laksanakan. Ini adalah pekerjaan-Nya. Ini adalah Gereja-Nya. Tentu saja, Dia adalah kapten kita, Raja Mulia, yaitu Putra Allah. Saya bersaksi bahwa Dia hidup dan membagikan kesaksian ini dalam nama kudus-Nya, nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. “Mari Anak Allah” Nyanyian Rohani, no. 141.

  2. Alma 17:2–3