2015
Penatua Richard G. Scott: Mengabdikan yang Terbaiknya bagi Pekerjaan Tuhan
Dalam KenanganPenatua Richard G. Scott


Penatua Richard G. Scott: Mengabdikan yang Terbaiknya bagi Pekerjaan Tuhan

“Sebagai salah seorang Rasul-Nya, yang diwenangkan untuk memberikan kesaksian tentang Dia, saya dengan khusyuk bersaksi bahwa saya tahu Juruselamat hidup, bahwa Dia adalah sosok yang dibangkitkan dan dimuliakan yang memiliki kasih sempurna.”1

Gambar
Richard G. Scott with wood panel background

Paling atas: foto seizin Deseret News

Sejak usia muda, Penatua Richard G. Scott memiliki hasrat untuk melakukan apa yang benar, bahkan ketika itu adalah sulit. “Ketika saya masih amat muda,” tutur Penatua Scott, “saya membuat perjanjian dengan Tuhan bahwa saya akan mengabdikan energi terbaik saya bagi pekerjaan-Nya.”2 Integritasnya terhadap perjanjian itu menuntun keputusan-keputusannya sepanjang kehidupannya. Dia melayani sebagai misionaris penuh waktu, sebagai presiden misi, sebagai anggota Tujuh Puluh, dan kemudian sebagai Rasul Tuhan.

Richard Gordon Scott lahir di Pocatello, Idaho, AS, tanggal 7 November 1928. Ketika berusia lima tahun, dia dan keluarganya pindah ke Washington, D.C., di mana ayahnya bekerja untuk Departemen Pertanian AS di bawah Penatua Ezra Taft Benson dari Kuorum Dua Belas Rasul, yang melayani sebagai menteri pertanian.

Gambar
Kenneth and Mary Scott family

Kiri atas: Didorong oleh orangtuanya, Richard menikmati membongkar benda, belajar caranya bekerja, dan menyusunnya kembali. Atas: Kenneth dan Mary Scott bersama anak-anak mereka (dari kiri): Gerald, Wayne, Walter, Mitchel, dan Richard.

Ketika Richard berusia remaja, keluarganya tidak menghadiri Gereja secara rutin. Orangtuanya, Kenneth dan Mary, mengajarinya nilai-nilai yang baik, tetapi Kenneth adalah nonanggota Gereja pada waktu itu, dan Mary kurang aktif. (Kenneth kemudian bergabung dengan Gereja, dan dia beserta istrinya menjadi anggota aktif, melayani di Bait Suci Washington D.C. selama bertahun-tahun). Richard menghadiri Gereja secara berkala, dengan dorongan dari teman-teman baik, uskup, dan pengajar ke rumah.

Di sekolah menengah Richard adalah remaja putra yang pandai bergaul. Dia dipilih menjadi presiden kelas, memainkan alat musik klarinet dalam kelompok musik, dan adalah mayoret [pemimpin] untuk kelompok marching band. Meskipun dia berprestasi di sekolah dan memiliki banyak teman, dia merasa kesepian dan kurang percaya diri. Dia menyadari kemudian sebagai seorang misionaris “bahwa perasaan-perasaan itu tidak perlu menjadi bagian dari kehidupan saya seandainya saya sungguh-sungguh telah memahami Injil.”3

Gambar
brothers playing musical instruments

Atas: Richard (tengah) dengan adik-adik lelakinya. Kiri atas: Richard lulus dari perguruan tinggi tahun 1950 dengan gelar dalam teknik mesin. Kiri: Richard, memainkan klarinet, bersama saudara-saudara lelakinya.

Ketika sekolah sedang libur selama musim panas, Richard mencari beragam pekerjaan untuk mendapatkan uang biaya perguruan tinggi. Suatu musim panas dia bekerja di sebuah kapal tiram di lepas pantai Long Island, New York. Di musim panas yang lain melakukan perjalanan ke Utah untuk bekerja di dinas perhutanan menebang pohon; dia juga mereparasi gerbong kereta api. Di musim panas yang lain lagi dia meminta pekerjaan pada Utah Parks Company, meskipun mereka telah memberi tahu dia bahwa mereka tidak memiliki lowongan. Dia menawarkan diri untuk mencuci piring selama dua minggu tanpa bayaran. Dia berpikir setidaknya dia akan mendapatkan tempat untuk tinggal dan makanan untuk dimakan. Dia dipekerjakan setelah menunjukkan inisiatif untuk membantu memasak di samping mencuci piring.4

Setelah sekolah menengah, Richard kuliah di George Washington University di Washington, D.C., menerima gelar S1 dalam teknik sipil mesin pada tahun 1950.

Berpikir mengenai Misi

Gambar
Richard G. Scott as a missionary

Bawah: Elder Scott melayani sebagai misionaris di Uruguay. Bawah: Seusai misinya, dia menikahi Jeanene Watkins di Bait Suci Manti Utah pada bulan Juli 1953.

Di usia 22 tahun, dia belum banyak berpikir mengenai melayani misi. Tetapi dia mulai berpikir mengenainya setelah seorang wanita muda yang sedang dia kencani, Jeanene Watkins, memberitahunya, “Ketika saya menikah, itu akanlah di bait suci kepada seorang purnamisionaris.”5 Dia mulai berdoa mengenai melayani misi dan berbincang dengan uskupnya mengenai itu. Dia dipanggil untuk melayani di Uruguay, dari tahun 1950 hingga 1953.

Jeanene menekuni studi tarian modern dan sosiologi di George Washington University. Dia lulus tahun 1951 dan kemudian melayani misi di Amerika Serikat bagian barat laut. Dua minggu setelah Penatua Scott kembali dari misinya, dia dan Jeanene dimeteraikan dalam Bait Suci Manti Utah, pada bulan Juli 1953. Mengenai pemeteraian itu, dia berbagi dalam konferensi umum, “Saya tidak punya kuasa untuk menggambarkan kedamaian dan ketenteraman yang datang dari keyakinan bahwa sewaktu saya terus hidup layak, saya akan dapat berada bersama Jeanene saya tercinta dan anak-anak kami selamanya karena tata cara sakral itu yang dilaksanakan dengan wewenang imamat yang tepat di dalam rumah Tuhan.”6

Gambar
Richard and Jeanene Scott on wedding day

Sering kali dalam kehidupannya, Penatua Scott membuat keputusan yang saleh terlepas dari pertentangan dan tekanan usia sebaya. Begitu pula halnya dengan menerima panggilan untuk melayani misi. Dia mengenang: “Para dekan dan teman mencoba untuk membujuk saya untuk tidak menerima panggilan misi, menasihati bahwa itu akan sangat menghambat karier saya yang baru dibangun sebagai insinyur. Tetapi tidak lama setelah misi saya, saya terseleksi untuk Program Nuklir Angkatan Laut yang baru dirintis .… Dalam sebuah pertemuan di mana saya dikirim untuk memimpin, saya mendapati bahwa salah seorang dekan yang telah menasihati saya untuk tidak pergi misi menduduki jabatan program yang secara signifikan lebih rendah daripada saya. Itu merupakan kesaksian yang kuat bagi saya mengenai bagaimana Tuhan memberkati saya sewaktu saya menempatkan prioritas saya dengan benar.”7

Sekitar lima tahun setelah mereka menikah, Penatua dan Sister Scott melalui apa yang dia gambarkan sebagai “suatu pengalaman bertumbuh”—suatu pencobaan sulit yang pada akhirnya menjadi berkat dalam kehidupan keluarganya. Mereka memiliki seorang putri dan seorang putra pada saat itu, usia tiga dan dua tahun. Sister Scott sedang mengandung bayi perempuan. Sayangnya, bayi tersebut meninggal dunia pada saat kelahiran.

Hanya enam minggu kemudian, putra mereka Richard yang berusia dua tahun meninggal dunia setelah operasi untuk memperbaiki suatu kelainan jantung bawaan. Penatua Scott menuturkan kembali:

“Ayah saya, yang ketika itu nonanggota Gereja, sangat mencintai Richard kecil. Dia berkata kepada ibu saya yang tidak aktif, ‘Saya tidak dapat mengerti bagaimana Richard dan Jeanene tampaknya dapat menerima kepergian dari anak-anak ini.’

Ibu, menanggapi suatu dorongan, berkata, ‘Kenneth, mereka telah dimeteraikan di bait suci. Mereka tahu bahwa anak-anak mereka akan berada bersama mereka dalam kekekalan jika mereka hidup dengan saleh. Tetapi kamu dan saya tidak akan memiliki kelima putra kita karena kita belum membuat perjanjian-perjanjian itu.’

Ayah saya merenungkan perkataan itu. Dia mulai bertemu dengan misionaris pasak dan tidak lama kemudian dibaptiskan. Dalam hanya satu tahun lebih sedikit Ibu, Ayah, dan anak-anak dimeteraikan di bait suci.”8

Penatua dan Sister Scott kemudian mengadopsi empat anak lagi.

Gambar
Richard and Jeanene Scott family

Atas: Keluarga Scott pada tahun 1965, pada saat panggilannya untuk melayani sebagai presiden misi di Argentina, dengan anak-anak Mary Lee, Linda, dan Kenneth. Bawah (dari kiri): Kenneth, David, Linda, Jeanene, Penatua Scott, Michael, dan Mary Lee. Halaman sebelah: Bekerja untuk Angkatan Laut AS, Penatua Scott membantu merancang reaktor nuklir bagi kapal selam bertenaga nuklir yang pertama.

Melayani sebagai Presiden Misi

Bekerja dalam program angkatan laut di Oak Ridge, Tennessee, Penatua Scott menyelesaikan gelar yang setara dengan S3 dalam teknik nuklir. Karena bidang itu bersifat rahasia negara, sebuah gelar tidak dapat diberikan. Perwira angkatan laut yang mengundang Richard untuk bergabung dengan program nuklir adalah Hyman Rickover, seorang pionir di bidang tersebut. Mereka bekerja bersama selama 12 tahun—sampai Richard dipanggil untuk melayani sebagai presiden misi di Argentina tahun 1965. Penatua Scott menjelaskan bagaimana dia menerima panggilan tersebut:

Gambar
Richard G. Scott in navy uniform

Atas: Keluarga Scott pada tahun 1965, pada saat panggilannya untuk melayani sebagai presiden misi di Argentina, dengan anak-anak Mary Lee, Linda, dan Kenneth. Bawah (dari kiri): Kenneth, David, Linda, Jeanene, Penatua Scott, Michael, dan Mary Lee. Halaman sebelah: Bekerja untuk Angkatan Laut AS, Penatua Scott membantu merancang reaktor nuklir bagi kapal selam bertenaga nuklir yang pertama.

“Saya berada dalam pertemuan pada suatu malam dengan mereka yang sedang mengembangkan bagian yang esensial dari pabrik tenaga nuklir tersebut. Sekretaris saya datang dan berkata, ‘Ada orang di ujung telepon yang mengatakan jika saya memberi tahu Anda namanya Anda akan menerima panggilan teleponnya.’

Saya berkata, ‘Siapa namanya?’

Dia berkata, ‘Harold B. Lee.’

Saya berkata, ‘Dia benar.’ Saya menerima panggilan telepon itu. Penatua Lee, yang kelak menjadi Presiden Gereja, bertanya apakah dia dapat menemui saya malam itu juga. Dia berada di New York City, dan saya berada di Washington, D.C. Saya terbang menemui dia, dan kami terlibat dalam wawancara yang menuntun pada pemanggilan saya menjadi presiden misi.”

Penatua Scott kemudian merasa dia seharusnya segera memberi tahu Laksamana Rickover, seorang individu pekerja keras dan banyak tuntutan, mengenai panggilannya.

“Sewaktu saya menjelaskan panggilan misi tersebut kepadanya dan bahwa itu akan berarti saya harus berhenti dari pekerjaan saya, dia menjadi sedikit kesal. Dia mengucapkan beberapa hal yang tidak pantas diulangi, mematahkan nampan surat di mejanya, dan dalam komentar-komentar berikutnya dengan jelas menegaskan dua pokok:

“‘Scott, apa yang Anda lakukan dalam program pertahanan ini begitu vitalnya sehingga akan dibutuhkan satu tahun untuk menggantikan Anda, jadi Anda tidak dapat pergi. Kedua, jika Anda pergi juga, Anda adalah pengkhianat terhadap negara Anda.’

Saya berkata, ‘Saya dapat melatih pengganti saya dalam dua bulan yang tersisa, dan tidak akan ada risiko bagi negara.’

Ada perbincangan lebih lanjut, dan dia akhirnya berkata, ‘Saya tidak akan pernah berbicara dengan Anda lagi. Saya tidak ingin melihat Anda lagi. Anda sudah selesai, bukan saja di sini, tetapi jangan pernah berencana untuk bekerja dalam bidang nuklir lagi.’”

Saya menanggapi, ‘Laksamana, Anda dapat menghalangi saya dari kantor, tetapi kecuali Anda mencegah saya, saya akan mengalihkan penugasan ini kepada orang lain.’”

Berpegang pada perkataannya, laksamana itu berhenti berbicara kepada Penatua Scott. Ketika keputusan kritis perlu dibuat, dia mengirim seorang utusan. Dia menugaskan seseorang untuk mengambil alih jabatan Penatua Scott, yang Penatua Scott latih.

Pada hari terakhirnya di kantor, Penatua Scott minta dibuatkan janji untuk bertemu laksamana itu. Sekretarisnya terkejut. Penatua Scott memasuki kantor dengan sejilid Kitab Mormon. Penatua Scott menjelaskan apa yang terjadi kemudian:

“Dia memandang saya dan berkata, ‘Duduklah, Scott, apa yang Anda miliki? Saya telah mencoba segala cara semampu saya untuk memaksa Anda berubah. Apa yang Anda miliki?’ Kemudian terjadilah perbincangan yang amat menarik dan hening. Ada lebih banyak sikap mendengarkan kali ini.

Dia berkata dia akan membaca Kitab Mormon tersebut. Kemudian sesuatu terjadi yang tidak pernah saya kira akan terjadi. Dia menambahkan, ‘Ketika Anda kembali dari misi, saya ingin Anda menelepon saya. Akan ada pekerjaan untuk Anda.’”9

Penatua Scott berbagi suatu pelajaran yang dia pelajari dari pengalaman ini: “Anda akan memiliki tantangan dan keputusan berat yang harus dibuat sepanjang kehidupan Anda. Tetapi tetapkan sekarang untuk selalu melakukan apa yang benar dan membiarkan konsekuensinya mengikuti. Konsekuensinya akan selalu demi kebaikan Anda yang terbaik.”10

Melayani di Argentina, Presiden Richard G. Scott adalah presiden misi yang efisien tetapi berbelas kasih. Salah seorang misionarisnya, Wayne Gardner, ingat harus membuat pengaturan untuk konferensi misionaris yang berlokasi jauh dari rumah misi dan bertanggung jawab untuk menjemput Presiden Scott dari bandara. Pada detik-detik terakhir, gedung yang Elder Gardner jadwalkan untuk konferensi tersebut menjadi tidak tersedia lagi. Kemudian dia dan rekannya terlambat tiba di bandara untuk menjemput Presiden Scott. Mereka juga lupa memberi tahu supir taksi untuk menunggu mereka dan tidak ada taksi lainnya, sehingga mereka terdampar.

“Meskipun saya dapat melihat kefrustrasian di mata presiden,” Elder Gardner mengenang, “dia merangkul saya dan mengatakan dia mengasihi saya. Dia demikian sabar dan penuh pengertian. Saya harap saya tidak akan pernah melupakan pelajaran itu.”11

Gambar
Richard G. Scott holding up Book of Mormon

Presiden Scott bersandar pada Kitab Mormon sebagai sumber inspirasi bagi dirinya dan bagi para misionaris. Pada suatu kesempatan, seorang misionaris datang ke kantornya dengan suatu masalah. Penatua Scott mengenang:

“Sewaktu dia berbicara, saya mulai memformulasikan dalam benak saya komentar-komentar spesifik untuk membantunya mengatasi tantangannya. Ketika dia selesai, saya berkata, ‘Saya tahu caranya membantu Anda.’ Dia memandang dengan semangat ke arah saya, dan mendadak pikiran saya menjadi hampa. Saya tidak dapat mengingat apa pun yang telah saya persiapkan untuk disampaikan kepadanya.

Dalam keresahan, saya mulai membuka-buka Kitab Mormon yang saya pegang di tangan saya sampai perhatian saya tertuju pada tulisan suci signifikan tertentu, yang saya bacakan kepadanya. Ini terjadi tiga kali. Setiap tulisan suci berlaku secara sempurna pada keadaannya. Kemudian, seolah-olah tirai diangkat dari benak saya, saya mengingat kembali nasihat yang saya rencanakan untuk berikan kepadanya. Kini itu memiliki makna yang jauh lebih besar, karena itu didasarkan pada landasan tulisan suci yang berharga. Sewaktu saya mengakhiri, dia berkata, ‘Saya tahu bahwa nasihat yang telah Anda berikan kepada saya telah diilhami karena Anda telah mengulangi tiga tulisan suci yang sama bagi saya ketika saya ditetapkan sebagai misionaris.’”12

Pelayanan Berkelanjutan di Dalam dan di Luar Negeri

Ketika pasangan Scott menyelesaikan misi mereka dan kembali ke Washington, D.C., Penatua Scott melanjutkan bekerja dalam industri teknik nuklir. Beberapa kolega yang pernah bekerja dengannya sebelum misinya meminta dia untuk bergabung dengan firma konsultasi swasta milik mereka. Dia bekerja dengan perusahaan itu dari tahun 1969 hingga 1977. Di Gereja dia melayani sebagai penasihat dalam presidensi pasak dan kemudian sebagai perwakilan regional.

Tahun 1977, delapan tahun setelah dibebastugaskan sebagai presiden misi, Penatua Scott dipanggil ke dalam Kuorum Pertama Tujuh Puluh. Tugas pertamanya mencakup melayani sebagai Direktur Eksekutif Departemen Imamat dan kemudian sebagai Administrator Eksekutif di Meksiko dan Amerika Tengah. Dia dan keluarganya tinggal di Mexico City selama tiga tahun dalam penugasan itu. Anggota Amerika Latin mengapresiasi gaya kepemimpinannya yang hangat, kemampuannya berbicara bahasa Spanyol, dan kasih tulusnya bagi orang-orang di sana.

Gambar
Richard G. Scott with Mexican Saints

Atas: Presiden Spencer W. Kimball dan Sister Camilla Kimball mengunjungi Misi Argentina Utara, di mana Penatua Scott melayani sebagai presiden misi. Penatua Scott juga membuka pekerjaan misionaris di antara suku Indian Quechua di Bolivia selatan. Bawah: Penatua Scott, yang fasih berbahasa Spanyol, mengetuai saat pembentukan pasak ke-100 di Meksiko.

Bawah: foto seizin arsip Deseret News

Bahkan sebagai Pembesar Umum, dia cukup rendah hati untuk belajar dari para guru dan pemimpin lokal. Dia teringat menerima wahyu sewaktu dia duduk dalam pertemuan imamat di sebuah cabang di Mexico City:

“Saya dengan jelas mengingat bagaimana seorang pemimpin berkebangsaan Meksiko yang rendah hati bergumul untuk mengomunikasikan kebenaran Injil dalam materi pelajarannya . … Dalam perilakunya, ada bukti dari kasih murni Juruselamat dan kasih bagi mereka yang dia ajar.

Ketulusan, kemurnian niat, dan kasihnya mengizinkan suatu kekuatan rohani memenuhi ruangan. Saya amat tersentuh. Kemudian saya mulai menerima kesan-kesan pribadi sebagai perpanjangan dari asas-asas yang diajarkan oleh instruktur yang rendah hati itu .…

Sewaktu masing-masing kesan datang, saya dengan cermat menuliskannya. Dalam proses tersebut, saya diberi kebenaran-kebenaran berharga yang amat saya butuhkan untuk menjadi hamba Tuhan yang lebih efektif.”13

Setelah kembali dari Meksiko, dia menerima tugas berharga lainnya: melayani sebagai direktur yang mengelola Departemen Sejarah Keluarga. Dia bukan saja membantu mengawasi pekerjaan sejarah keluarga Gereja tetapi juga secara pribadi terlibat dalam sejarah keluarganya sendiri. Karena ayah Penatua Scott adalah orang insaf ke dalam Gereja, ada banyak penyelidikan yang perlu dilakukan dalam garis keturunan keluarga itu. Penatua Scott dan istrinya, bersama dengan orangtuanya, mendedikasikan waktu untuk menyelidiki sejarah keluarga mereka.

Di pertengahan tahun 1980-an, teknologi mulai memainkan peran yang lebih besar dalam pekerjaan sejarah keluarga, tetapi “bahkan dengan bantuan komputer, ada dan akan selalu ada kebutuhan bagi keterlibatan individu dalam pekerjaan ini,” kata Penatua Scott, “agar anggota Gereja akan memiliki pengalaman rohani hebat yang menyertainya.”14

Gambar
Quorum of the Twelve Apostles

Kiri: Penatua Scott (paling kanan) dipanggil ke Kuorum Dua Belas Rasul tahun 1988, dimana dia melayani selama 27 tahun. Kiri bawah: Dia menyapa Presiden Thomas S. Monson. Bawah: Penatua Scott dipanggil untuk melayani dalam Presidensi Tujuh Puluh tahun 1983. Bawah: Meninggalkan konferensi umum bersama Penatua Jeffrey R. Holland dan M. Russell Ballard.

Tahun 1988 datanglah panggilan yang menimbulkan rasa kewalahan. Dia bertemu dengan Presiden Ezra Taft Benson (1899–1994), yang, “dengan kelembutan hati dan kasih serta pengertian besar,” menyampaikan kepada Penatua Scott panggilan untuk menjadi Rasul Tuhan. “Saya tak sanggup menahan diri menangis,” kata Penatua Scott mengenai pengalaman itu. “Dan kemudian Presiden Benson dengan sangat ramah berbicara mengenai pemanggilannya sendiri untuk memberi saya keyakinan. Dia bersaksi bagaimana panggilan saya telah datang. Saya akan selalu mengingat sikap penuh pertimbangan dan pengertian itu dari nabi Tuhan.”15 Penatua Scott didukung dalam konferensi umum tanggal 1 Oktober.

Pernikahan

Penatua Scott dan istrinya, Jeanene, menikmati banyak kegiatan bersama, seperti mengamati burung, melukis (Penatua menggunakan cat air; Sister menggunakan pastel), dan mendengarkan musik jazz serta musik rakyat Amerika Selatan.

Gambar
Richard and Jeanene Scott reading scriptures

Mereka yang pernah mendengarkan ceramah konferensi umum Penatua Scott tahu akan cintanya bagi Jeanene. Dia sering berbicara mengenainya, bahkan setelah dia meninggal dunia. Dalam ceramah konferensi umum pertamanya sebagai anggota Kuorum Pertama Tujuh Puluh tahun 1977, Penatua Scott menyampaikan penghormatan kepada istrinya, “seorang rekan yang dikasihi dan dihargai . … Jeanene senantiasa menjadi teladan dari kesaksian yang murni, kasih, dan pengabdian; dia merupakan menara kekuatan bagi saya.”16

Belum lama ini, dalam sebuah ceramah konferensi yang mengilhami mengenai pernikahan, dia mengenang kembali banyak ungkapan cinta yang dia dan Jeanene bagikan bersama untuk memperkuat pernikahan mereka. Dia mengakhiri: “Saya tahu apa artinya mengasihi seorang putri Bapa di Surga yang dengan keanggunan dan pengabdian menjalankan kemegahan feminin yang penuh dari peran kewanitaannya yang saleh. Saya yakin bahwa ketika, di masa depan kami, saya melihat dia lagi di balik tabir, kami akan mengenali bahwa kami telah menjadi bahkan lebih saling mencintai. Kami akan bahkan lebih saling mengapresiasi, setelah meluangkan waktu ini terpisah oleh tabir.”17

Kini mereka telah dipersatukan kembali.

Catatan

  1. Richard G. Scott, “Dia Hidup,” Liahona, Januari 2000, 108.

  2. Dalam “Elder Richard G. Scott of the Quorum of the Twelve,” Ensign, November 1988, 101.

  3. Dalam Marvin K. Gardner, “Elder Richard G. Scott: ‘The Real Power Comes from the Lord,’” Tambuli, Februari 1990, 18.

  4. Lihat Gardner, “Elder Richard G. Scott: ‘The Real Power Comes from the Lord,’” Tambuli, Februari 1990, 19.

  5. Jeanene Watkins, dalam Gardner, “Elder Richard G. Scott: ‘The Real Power Comes from the Lord,’” Tambuli, Februari 1990, 20.

  6. Richard G. Scott, “Berkat-Berkat Kekal Pernikahan,” Liahona, Mei 2011, 94.

  7. Dalam “Elder Richard G. Scott of the Quorum of the Twelve,” Ensign, Mei 1977, 102–103.

  8. Richard G. Scott, “Terimalah Berkat-Berkat Bait Suci,” Liahona, Juli 1999, 31.

  9. Richard G. Scott, “Membuat Keputusan Sulit,” Liahona, Juni 2005, 8–9, 10.

  10. Richard G. Scott, “Lakukan yang Benar,” Liahona, Maret 2001, 14.

  11. Wayne L. Gardner, dalam Gardner, “Elder Richard G. Scott: ‘The Real Power Comes from the Lord,’” Tambuli, Februari 1990, 21.

  12. Richard G. Scott, “The Power of the Book of Mormon in My Life,” Ensign, Oktober 1984, 9.

  13. Richard G. Scott, “Untuk Memperoleh Bimbingan Rohani,” Liahona, November 2009, 7.

  14. Dalam “Elder Richard G. Scott of the Quorum of the Twelve,” Ensign, November 1988, 102.

  15. Dalam “Elder Richard G. Scott of the Quorum of the Twelve,” Ensign, November 1988, 101.

  16. Richard G. Scott, “Gratitude,” Ensign, Mei 1977, 70.

  17. Richard G. Scott, “Berkat-Berkat Kekal Pernikahan,” Liahona, Mei 2011, 97.