2003
Pernikahan Kekal
Mei 2003


Pernikahan Kekal

Jika Anda ingin sesuatu bertahan lama, Anda perlu memperlakukan hal itu dengan istimewa … itu menjadi istimewa karena Anda membuatnya demikian.

Beberapa tahun yang lalu istri saya dan saya pergi ke pesta kebun sebuah pernikahan. Sebelumnya kami pergi ke bait suci, di mana sepasang muda-mudi yang kami kenal dinikahkan untuk saat ini dan selama kekekalan. Mereka saling mencintai. Suasana pertemuan itu sungguh luar biasa. Air mata kebahagian menetes. Kami berdiri dalam antrean belakang saat resepsi pada hari yang istimewa itu. Di depan kami ada sahabat dekat keluarga kami. Ketika dia mendekati sang pengantin, dia berhenti dan dalam suara tenor yang indah serta merdu dia menyanyikan bagi mereka syair yang menggugah dari Kitab Rut: “Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana” (Rut 1:16–17).

Kami benar-benar tersentuh dan merasa diyakinkan kembali akan masa depan mereka bagi kebahagiaan— dalam hal ini, saya rasa, karena istri saya dan saya telah memasang kata-kata yang sama itu di rumah kami selama bertahun-tahun.

Sayangnya, makna penting kata-kata yang indah itu telah hilang. Terlalu banyak pernikahan dewasa ini berakhir dengan perceraian. Sifat mementingkan diri, dosa, serta kenyamanan pribadi sering kali menyingkirkan perjanjian dan tekad.

Pernikahan kekal merupakan sebuah asas yang ditentukan sebelum dunia dijadikan serta ditetapkan di bumi sebelum maut datang ke sini. Adam dan Hawa diberi asas itu oleh Allah di Taman Eden sebelum Kejatuhan. Tulisan suci mengatakan, “Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka” (Kejadian 5:1–2; penekanan ditambahkan).

Para nabi secara tetap mengajarkan bahwa unsur utama dan penting dari rencana agung Allah untuk memberkati anak-anak-Nya adalah pernikahan kekal. Presiden Ezra Taft Benson menyatakan, “Kesetiaan terhadap perjanjian pernikahan mendatangkan sukacita paling lengkap di dunia ini dan pahala yang mulia di dunia yang akan datang” (The Teachings of Ezra Taft Benson [1988], 533–534). Presiden Howard W. Hunter menguraikan pernikahan selestial sebagai “tata cara puncak injil” dan menjelaskan bahwa “karena diperlukan waktu yang agak lama [bagi beberapa orang], barang kali bahkan setelah kehidupan fana ini,” itu tidak dipungkiri oleh orang yang layak mana pun (Teachings of Howard W. Hunter, diedit oleh Clyde J. Williams [1997], 132, 140). Presiden Gordon B. Hinckley menyebut pernikahan kekal sebagai hal yang menakjubkan (lihat “What God Hath Joined Together,” Ensign, Mei 1991, 71) dan “karunia berharga yang melebihi apa pun” (“The Marriage That Endures,” Ensign, Mei 1974, 23).

Tetapi, walaupun karunia itu agung dan mulia, karunia itu tidak cuma-cuma. Namun, karunia itu bersyarat, dan walaupun sudah diberikan, karunia itu dapat hilang jika kita tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian yang menyertainya. Ajaran dan Perjanjian Bagian 131 memberitahu kita bahwa “di dalam kemuliaan selestial terdapat tiga surga atau tingkatan; dan untuk mencapai yang tertinggi, seseorang [yang artinya wanita juga] harus memasuki tata tertib keimamatan ini [yaitu perjanjian perkawinan yang baru dan kekal]” (A&P 131:1–2).

Sebuah perjanjian adalah janji yang kudus. Kita berjanji untuk melakukan hal-hal tertentu, dan Allah mengikat Diri-Nya untuk melakukan yang sebaliknya. Kepada mereka yang menepati perjanjian pernikahan, Allah menjanjikan kegenapan kemuliaan-Nya, kehidupan kekal, pertumbuhan kekal, permuliaan di dalam kerajaan selestial, serta kegenapan sukacita. Kita semua mengetahui bahwa, kadang-kadang kita tidak begitu memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk menerima berkat-berkat itu. Tulisan suci dengan jelas mengatakan bahwa setidaknya ada tiga kewajiban yang melekat dalam perjanjian ini.

Pertama, pernikahan kekal itu sifatnya kekal. Kekal mencakup pertumbuhan dan kemajuan yang berkelanjutan. Hal itu berarti bahwa suami serta istri akan dengan jujur berusaha menyempurnakan diri mereka. Itu berarti bahwa hubungan pernikahan tidak dimaksudkan untuk disepelekan pada saat pertama kali tanda-tanda ketidakcocokan terlihat serta ketika masa-masa yang sulit terjadi. Itu menunjukkan bahwa kasih akan tumbuh lebih kuat selama kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang. Hal itu berarti bahwa setiap rekan akan diberkati dengan teman-teman dari rekan lainnya selamanya dan bahwa masalah-masalah serta perbedaan-perbedaan juga dapat diatasi karena mereka akan melakukannya. Kekal mencakup pertobatan, pengampunan, panjang sabar, kesabaran, pengharapan, kasih sayang, kasih, serta kerendahan hati. Semua hal itu termasuk dalam hal-hal yang kekal, dan sesungguhnya kita harus belajar serta melatihnya jika kita menghendaki pernikahan yang kekal.

Kedua, pernikahan kekal ditetapkan oleh Allah. Ini berarti bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pernikahan sepakat untuk mengundang Allah dalam pernikahan mereka, berdoa bersama, mematuhi perintah-perintah, menahan nafsu dan keinginan dalam batasan-batasan tertentu yang telah ditentukan oleh Nabi. Itu berarti menjadi rekan yang setara dan menjaga kesetiaan serta kemurnian baik di luar maupun di dalam rumah. Itulah bagian dari apa artinya ditetapkan oleh Allah.

Ketiga, pernikahan kekal merupakan suatu hubungan dengan Allah. Dia menjanjikan suatu kehidupan yang berkelanjutan dengan mereka yang dimeteraikan bersama di dalam bait suci. Ada kesatuan dengan sang Pencipta yang melekat dalam perintah yang diberikan kepada Adam dan Hawa untuk beranakcucu serta memenuhi bumi. Ada suatu kewajiban untuk mengajarkan injil kepada anak-anak, karena mereka juga adalah anak-anak-Nya. Karenanya kita mengadakan malam keluarga dan pembelajaran tulisan suci, pembahasan injil, dan pelayanan kepada sesama. Agaknya itu menjadi suatu kewajiban untuk mendukung serta menyokong satu sama lain dalam pemanggilan dan peranan yang diberikan kepada masing-masing orang untuk dilaksanakan. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita menjadi satu dengan Allah jika kita tidak mendukung satu sama lain ketika istri dipanggil untuk melayani di Pratama atau suami melayani di dalam keuskupan?

Dengan demikian perjanjian pernikahan mencakup setidaknya hal-hal tersebut di atas dan mungkin juga yang lainnya. Barangkali saya tidak mengenai sasaran, ketika saya mengatakan bahwa mereka yang secara fisik dan sengaja memperundung istri atau suami atau mereka yang meremehkan ataupun merendahkan atau menjalankan kekuasaan yang tidak benar dalam sebuah pernikahan tidaklah memenuhi perjanjian. Juga mereka yang mengabaikan perintah-perintah ataupun gagal mendukung para pemimpin mereka. Bahkan mereka yang meremehkan pemanggilan, mengabaikan sesama, atau mengikuti cara-cara dunia mereka sedang berada dalam bahaya. Jika kita tidak menepati bagian kita dalam perjanjian, kita tidak memiliki janji itu.

Yang terpenting, saya rasa pernikahan kekal tidak dapat dicapai tanpa tekad untuk membuatnya berhasil. Kebanyakan yang saya ketahui mengenai ini saya pelajari dari rekan [istri] saya. Kami telah menikah selama hampir 47 tahun sekarang. Sejak semula dia telah mengetahui pernikahan seperti apa yang dia inginkan.

Kami memulainya sebagai mahasiswa yang miskin, tetapi visi bagi pernikahan kami ditunjukkan melalui peralatan makan dari perak. Sebagaimana lazimnya sekarang, ketika kami menikah dia mendaftarkan diri sebagai seorang anggota di toko serba ada setempat. Di samping mencatat semua panci dan penggorengan serta alat-alat dapur yang kami perlukan dan harapkan untuk diterima, dia memilih cara lain. Dia meminta peralatan makan dari perak. Dia memilih bentuk dan jumlah perangkat makan itu serta membuat daftar pisau, garpu, dan sendok dalam registrasi pernikahan. Tidak ada handuk, tidak ada pemanggang, tidak ada televisi—hanya pisau, garpu, serta sendok.

Pesta pernikahan itu berlangsung dan berakhir. Teman-teman kami serta sahabat orang tua kami memberikan hadiah. Kami pergi untuk menikmati bulan madu singkat dan memutuskan untuk membuka hadiahnya saat kami pulang. Ketika kami membuka hadiah-hadiah itu, kami terkejut. Tidak ada satu pun pisau atau garpu dari sekian banyak hadiah. Kami berkelakar mengenai hal itu dan melanjutkan kehidupan kami.

Dua anak lahir ketika kami kuliah di fakultas hukum. Kami tidak memiliki uang lebih. Tetapi ketika istri saya bekerja paro waktu sebagai hakim umum atau ketika seseorang memberinya beberapa dolar untuk ulang tahunnya, diam-diam dia menyimpannya, dan jika dia memiliki cukup uang dia akan pergi ke kota membeli garpu atau sendok. Kami memerlukan beberapa tahun untuk mengumpulkan peralatan itu serta menggunakannya. Ketika akhirnya kami memiliki peralatan itu cukup untuk empat orang, kami mulai mengundang beberapa teman kami untuk makan malam.

Sebelum mereka datang, kami membahas sedikit mengenai dapur. Peralatan mana yang akan kami gunakan, aneka ragam peralatan stainless [anti karat] atau peralatan makan khusus dari perak? Sering kali saya akan memilih memakai stainless. Itu lebih mudah. Anda cukup menaruhnya di mesin pencuci setelah makan, dan mesin itu membersihkannya sendiri. Peralatan makan dari perak, sebaliknya, memerlukan perawatan yang lebih rumit. Istri saya menyembunyikannya di bawah tempat tidur di mana pencuri tidak dapat menemukannya. Dia mendesak agar saya membeli kain anti noda untuk membungkusnya. Ketika barang-barang perak itu dipakai, barang-barang itu harus dicuci dengan tangan lalu dikeringkan agar tidak minggalkan bercak-bercak, serta dikembalikan lagi ke tempatnya sehingga tidak ada bercak-bercak, dan dibungkus serta dengan seksama disembunyikan kembali agar tidak dicuri. Jika ditemukan noda, saya diminta untuk membeli semir perak, dan dengan cermat kami berdua membersihkan noda itu.

Setiap tahun kami menambah peralatan itu, dan saya melihat dengan kagum cara dia merawat peralatan perak itu. Istri saya tidak mudah tersulut kemarahan. Tetapi, saya ingat suatu hari ketika salah seorang anak kami memegang salah satu garpu perak itu serta ingin menggunakannya untuk menggali lubang di halaman belakang. Usaha itu diketahui dengan amarah yang meluap dan peringatan diberikan bahkan untuk tidak memikirkannya satu kali pun. Jangan pernah!

Saya perhatikan peralatan makan dari perak itu tidak pernah dikeluarkan untuk menghidangkan masakan yang dia olah untuk lingkungan, atau tidak pernah dipakai menghidangkan makanan-makanan yang dia buat yang dikirimkan kepada orang yang sakit atau membutuhkan. Peralatan itu juga tidak pernah dipakai saat piknik maupun berkemah. Kenyataannya peralatan itu tidak pernah pergi ke mana-mana; dan seiring berlalunya waktu, peralatan perak itu pun jarang sekali berada di atas meja. Beberapa teman kami menganggap biasa, serta bahkan mereka tidak mengetahuinya. Mereka menikmati makanan dengan peralatan makan dari stainless saat mereka datang untuk makan malam.

Waktunya tiba ketika kami dipanggil untuk melayani misi. Saya tiba di rumah suatu hari dan diberitahu bahwa saya harus menyewa kotak penyimpan untuk peralatan makan perak itu. Dia tidak ingin membawanya. Dia tidak ingin meninggalkannya. Dan dia tidak ingin kehilangan peralatan itu.

Selama bertahun-tahun saya pikir dia memang agak eksentrik, dan kemudian suatu hari saya menyadari bahwa dia sudah tahu sejak lama sesuatu yang baru saja saya pahami. Jika Anda ingin sesuatu bertahan lama, Anda perlu memperlakukan hal itu dengan istimewa. Anda harus menjaga serta melindunginya. Anda jangan pernah memperundungnya. Anda tidak perlu memamerkannya. Anda jangan mengumbarnya. Jika benda itu sampai ternoda, dengan penuh kasih semirlah hingga benda itu bercahaya kembali seperti baru. Hal itu menjadi istimewa karena Anda membuatnya demikian, dan itu akan menjadi lebih indah serta berharga seiring berlalunya waktu.

Pernikahan kekal adalah seperti itu. Kita perlu memperlakukannya seperti itu. Saya berdoa semoga kita dapat melihatnya sebagai karunia yang sangat berharga sebagaimana adanya, dalam nama Yesus Kristus, amin.