Ajaran-Ajaran Presiden
Kehidupan dan Pelayanan Ezra Taft Benson


Kehidupan dan Pelayanan Ezra Taft Benson

Para wisatawan di jalan raya antara Logan, Utah dan Whitney, Idaho, menyaksikan sesuatu yang tidak lazim pada tanggal 4 Juni 1994. Mereka melihat orang-orang berdiri di sepanjang bagian-bagian jalan raya 39 kilometer itu. Keesokan harinya, Penatua Robert D. Hales dari Kuorum Dua Belas Rasul menjelaskan mengapa orang-orang telah berkumpul di sana. Mereka menunggu iring-iringan pemakaman, yang mengangkut jenazah Presiden Ezra Taft Benson ke pemakaman di kampung halamannya setelah kebaktian pemakaman di Salt Lake City, Utah. Penatua Hales menggambarkan kejadian ini:

“Perjalanan dengan iring-iringan pelayat ke Whitney, Idaho, merupakan penghormatan yang mengharukan bagi seorang nabi Allah.

Para anggota Gereja memberikan penghormatan sewaktu mereka berbaris di pinggir jalan raya dan berdiri di atas jembatan penyeberangan di sepanjang jalan. Beberapa orang berpakaian hari Minggu terbaik mereka di hari Sabtu sore. Yang lainnya berhenti sejenak sebagai penghormatan, menghentikan mobil-mobil mereka dan berdiri dengan khidmat, menunggu jenazah nabi untuk lewat. Para petani berdiri di ladang-ladang mereka dengan topi ditempatkan di dada. Mungkin yang lebih signifikan adalah anak-anak lelaki melepaskan topi basebal mereka dan menempatkannya di dada mereka. Bendera-bendera juga dikibarkan sebagai tanda selamat tinggal saat jenazah nabi lewat. Ada tanda-tanda yang bertuliskan, ‘Kami mengasihi Presiden Benson.’ Yang lainnya berbunyi, ‘Bacalah Kitab Mormon.’”1

Curahan kasih sayang ini benar-benar merupakan tanda penghormatan, tetapi sesungguhnya lebih dari itu. Itu bukti nyata bahwa kehidupan orang-orang telah berubah karena mereka telah mengikuti nasihat seorang nabi. Dan orang-orang yang berkumpul di sepanjang jalan raya mencerminkan lebih banyak hal lagi. Di antara saat Ezra Taft Benson dilahirkan dekat Whitney, Idaho, dan saat tubuh fananya dikuburkan di sana, dia telah melayani sebagai alat dalam tangan Tuhan, mengadakan perjalanan ke seluruh dunia dan membantu jutaan orang datang kepada Kristus.

Pelajaran-Pelajaran yang Dipelajari di Tanah Pertanian Keluarga

Pada 4 Agustus 1899, Sarah Dunkley Benson dan George Taft Benson Jr. menyambut anak pertama mereka yang lahir ke dalam keluarga mereka. Mereka memberinya nama Ezra Taft Benson, sesuai dengan nama kakek buyutnya, Penatua Ezra T. Benson, yang telah melayani sebagai anggota Kuorum Dua Belas Rasul.

Ezra dilahirkan di rumah pertanian dua kamar yang telah dibangun oleh ayahnya tahun sebelumnya. Persalinannya lama dan sulit, dan dokter yang menyertai persalinan mengira bayi yang berbobot 5,3 kg tersebut tidak akan selamat. Tetapi kedua nenek bayi tersebut memiliki gagasan yang berbeda. Mereka mengisi dua panci dengan air—satu dengan air hangat, dan yang lainnya dengan air dingin—dan mencelupkan cucu mereka secara bergantian di masing-masing panci sampai dia mulai menangis.

Gambar
Ezra Taft Benson at three months old.

Ezra Taft Benson sewaktu bayi, 1900

Ezra Taft Benson muda, sering dipanggil “T” oleh anggota keluarga dan teman-teman, menikmati masa kanak-kanak yang memuaskan di pertanian yang mengelilingi rumah di mana dia dilahirkan. Presiden Gordon B. Hinckley, yang melayani bersama Presiden Benson selama hampir 33 tahun dalam Kuorum Dua Belas Rasul dan Presidensi Utama, menceritakan mengenai pelajaran-pelajaran yang dipelajari oleh Ezra muda.

“Dia adalah anak petani, dalam arti harfiah dan sesungguhnya, berpakaian seorang petani, dengan kulit yang terbakar sinar matahari, yang pada usia yang sangat muda sudah mengenal hukum tuaian: ‘Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya’ (Galatia 6:7).

Dia telah mengetahui di masa yang diliputi kemiskinan itu bahwa tanpa kerja keras, tidak ada tanaman yang tumbuh kecuali rumput liar. Harus ada kerja keras, tanpa henti dan terus-menerus, jika menginginkan tuaian. Dan demikianlah pembajakan dilakukan di musim gugur dan pembajakan di musim semi—kerja keras berjalan di alur sepanjang hari di belakang kelompok kuda-kuda yang kuat. Di masa itu bajak tangan digunakan, dan gagang bajak harus dipegang secara terus-menerus untuk memutar dan menggerakkan mata bajak yang tajam untuk membelah tanah dan menimbunnya kembali dengan rapi. Setelah seharian bekerja seperti itu, seorang anak laki-laki akan kelelahan dan tertidur pulas. Tetapi pagi hari datang sangat cepat.

Ladang membutuhkan garu, sekali lagi ditarik oleh kuda, untuk memecahkan gumpalan-gumpalan tanah dan mempersiapkan semaian benih. Menanam benih adalah pekerjaan yang sulit, yang membuat punggung sakit. Dan kemudian pekerjaan irigasi. Pertanian keluarga Benson berada di lokasi yang kering, yang menjadi subur melalui irigasi. Air harus diawasi, tidak saja pada siang hari tetapi di sepanjang malam. Tidak ada lampu senter listrik atau lampu dari gas propan. Yang ada hanya lampu minyak tanah yang menghasilkan nyala kuning yang lemah dan pudar. Air harus sampai ke ujung baris terakhir. Itulah pelajaran yang tidak boleh dia lupakan.Saya

dapat membayangkan dalam pikiran saya anak kecil, dengan sekop di bahunya, berjalan di sepanjang parit dan ladang untuk memastikan air yang menunjang kehidupan sampai ke tanah yang kering.

Tidak lama kemudian tibalah saatnya untuk memotong jerami, berhektar-hektar luasnya. Mesin pemotong jerami diikatkan pada sepasang kuda, anak laki-laki itu naik ke tempat duduk dari baja yang sudah usang, dan batang sabit bergerak maju-mundur, memotong petakan jerami berukuran lima kaki sementara pasangan kuda bergerak maju. Dengan lalat dan nyamuk, dengan debu dan panas yang menyengat, itu adalah pekerjaan yang berat. Jerami kemudian harus digaruk, lalu dikumpulkan dengan garpu tangan menjadi tumpukan jerami untuk dikeringkan. Pengaturan waktu adalah penting. Ketika jerami mencapai tahap yang benar jerami ditempatkan ke rak jerami, sebuah gerobak yang memiliki dasar rata yang lebar. Di tempat tumpukan jerami, mesin derek yang digerakkan oleh kuda mengangkat jerami dari gerobak untuk dibentuk menjadi tumpukan jerami yang besar. Di masa itu belum ada metode pengemasan jerami, juga tidak ada mesin pemuat mekanis. Yang ada hanya garpu jerami dan otot.

… Tidaklah mengherankan bahwa tubuh orang ini tumbuh besar dan kuat. Di antara kami yang mengenal dia di kehidupan masa tuanya sering berkomentar mengenai ukuran pergelangan tangannya. Dengan kesehatan yang baik, landasan yang membuat masa kanak-kanaknya kuat, merupakan salah satu berkat besar dari kehidupannya. Sampai beberapa tahun terakhir, dia adalah pria yang memiliki tenaga yang luar biasa.

Di sepanjang tahun-tahun kehidupan dewasanya, ketika dia berinteraksi dengan para presiden dan raja-raja, dia tidak pernah kehilangan apa yang telah dia peroleh di masa kanak-kanaknya di tanah pertanian. Dia tidak pernah kehilangan kemampuannya untuk bekerja. Dia tidak pernah kehilangan kemauan untuk bangun di pagi hari dan bekerja sampai malam.

Tetapi itu lebih dari sekadar kebiasaan bekerja keras yang berasal dari rumah anak laki-laki itu. Ada kekuatan tertentu yang berasal dari tanah itu. Terdapat pengingat terus-menerus mengenai pernyataan yang diberikan Adam dan Hawa ketika mereka diusir dari taman: ‘Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah’ (Kejadian 3:19). Sikap kemandirian telah terbentuk di antara mereka yang telah bekerja dengan tanah. Waktu itu tidak ada program-program pertanian pemerintah, tidak ada subsidi dalam bentuk apa pun. Perubahan-perubahan musim yang tidak terduga harus diterima. Temperatur beku yang membunuh tanaman, badai yang tidak lazim, angin, dan kekeringan semuanya diterima sebagai risiko hidup yang arusansinya tidak tersedia. Penyimpanan sebagai persiapan terhadap kondisi kekurangan diperlukan, kalau tidak akan ada kelaparan. Satu-satunya sumber terus-menerus menghadapi risiko kehidupan adalah doa, doa kepada Bapa kekal dan pengasih kita, Allah Yang Mahakuasa dari alam semesta.

Banyak doa diucapkan di rumah kecil itu di Whitney, Idaho. Doa keluarga, doa malam hari dan pagi hari, di mana rasa syukur diungkapkan atas kehidupan dengan segala tantangan dan peluangnya, dan di mana permohonan diucapkan untuk kekuatan dalam melakukan pekerjaan hari itu. Mereka yang membutuhkan diingat, dan ketika keluarga bangkit setelah berlutut dalam doa, sang ibu, yang adalah presiden Lembaga Pertolongan lingkungan, memuati kereta kuda mereka dengan makanan untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, dengan putra sulungnya bertindak sebagai pengemudi. Pelajaran-pelajaran tersebut tidak pernah terlupakan.”2

Pelajaran-Pelajaran yang Dipelajari dari Orangtua yang Setia

Pelajaran-pelajaran mengenai kerja keras, kesatuan keluarga, pelayanan, dan menjalani Injil ini mulai dikembangkan di suatu hari ketika orangtua Ezra yang waktu itu berusia 12 tahun pulang ke rumah dari sebuah pertemuan Gereja dengan berita yang tidak terduga. Presiden Benson kemudian mengenang:

“Sementara Ayah mengendarai kuda menuju rumah, Ibu membuka surat, dan, dengan perasaan terkejut, mendapati sepucuk surat dari Kotak Pos B di Salt Lake City—panggilan untuk pergi misi. Tidak seorang pun bertanya apakah ada yang siap, bersedia, atau mampu. Uskup seharusnya tahu, dan uskup tersebut adalah Kakek George T. Benson, ayahnya ayah saya.

Sewaktu Ayah dan Ibu masuk ke pekarangan rumah, mereka berdua menangis—sesuatu yang belum pernah kami lihat di keluarga kami. Kami berkumpul di sekeliling kereta kuda—jumlah kami tujuh orang waktu itu—dan bertanya kepada mereka apa yang terjadi.

Mereka berkata, ‘Semua baik-baik saja.’

‘Lalu mengapa Ayah dan Ibu menangis?’ kami bertanya.

‘Mari kita masuk ke ruang keluarga dan kami akan menjelaskan.’

Kami berkumpul mengelilingi sofa tua di ruang keluarga, dan Ayah memberi tahu kami mengenai panggilan misinya. Kemudian Ibu berkata, ‘Kami bangga mengetahui bahwa Ayah dianggap layak untuk pergi misi. Kami menangis sedikit karena itu berarti kami akan berpisah selama dua tahun. Anak-anak tahu, ayah dan ibumu belum pernah berpisah lebih dari dua malam sejak pernikahan kami—dan itu pun ketika Ayah pergi ke ngarai untuk mencari kayu gelondong, kayu tiang, dan kayu bakar.’”3

Dengan ayahnya di ladang misi, Ezra memikul banyak tanggung jawab mengelola tanah pertanian keluarga. Dia “melakukan pekerjaan pria dewasa, walaupun dia masih anak laki-laki kecil,” adiknya Margaret kemudian mengenang. “Dia menggantikan posisi ayah selama hampir dua tahun.”4 Di bawah kepemimpinan Sarah, Ezra dan saudara-saudara kandungnya bekerja bersama, berdoa bersama, dan membaca surat-surat dari ayah mereka bersama-sama. Tujuh puluh lima tahun kemudian, Presiden Besnon mengenang berkat-berkat yang datang kepada keluarganya karena ayahnya melayani misi:

“Saya pikir ada orang di dunia yang mungkin mengatakan bahwa dia menerima panggilan tersebut merupakan bukti bahwa dia tidak benar-benar mengasihi keluarganya. Meninggalkan tujuh anak kecil dan seorang istri yang sedang hamil di rumah sendirian selama dua tahun, bagaimana mungkin itu dianggap kasih sejati?

Tetapi ayah saya memiliki pandangan yang lebih tinggi mengenai kasih. Dia tahu ‘segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia’ (Roma 8:28). Dia tahu bahwa hal terbaik yang dapat dia lakukan untuk keluarganya adalah dengan mematuhi Allah.

Meskipun kami sangat rindu kepadanya selama tahun-tahun tersebut, dan sementara ketidakberadaan dia mendatangkan banyak tantangan kepada keluarga kami, keputusan dia untuk menerima panggilan terbukti merupakan karunia kasih amal. Ayah menjalankan misinya, meninggalkan Ibu di rumah dengan tujuh anak kecil (Anak kedelapan lahir empat bulan setelah dia tiba di ladang misi). Tetapi di dalam rumah itu terdapat semangat pekerjaan misionaris yang tidak pernah meninggalkannya. Kondisi itu disertai dengan sejumlah pengurbanan. Ayah harus menjual tanah pertanian kering kami untuk dapat membiayai misinya. Dia harus memindahkan sepasang suami istri ke bagian dari rumah kami untuk mengurus tanaman panen berbaris, dan dia meninggalkan kepada putra-putra dan istrinya tanggung jawab untuk mengurus ladang jerami, tanah padang rumput, dan sekawanan kecil sapi perah.

Surat-surat ayah sesungguhnya adalah berkat bagi keluarga kami. Bagi kami anak-anak, surat-surat itu tampaknya datang dari separuh jarak dunia, tetapi pada dasarnya surat-surat itu datang dari Springfield, Massachusetts; dan Chicago, Illinois; dan Cedar Rapids dan Marshalltown, Iowa. Ya, surat-surat itu datang ke rumah kami, sebagai hasil dari misi Ayah, semangat pekerjaan misionaris yang tidak pernah meninggalkannya.

Lalu keluarga bertambah menjadi sebelas anak-anak—tujuh anak laki-laki dan empat anak perempuan. Semua dari tujuh anak laki-laki melayani misi, beberapa di antaranya melayani dua atau tiga misi. Kemudian, dua anak perempuan dan suami-suami mereka melayani misi penuh waktu. Dua saudara perempuan lainnya, keduanya janda—satu ibu dari delapan anak dan yang lainnya ibu dari sepuluh anak—melayani sebagai rekan misionaris di Birmingham, Inggris.

Itu adalah warisan yang masih terus memberkati keluarga Benson bahkan hingga generasi ketiga dan keempat. Bukankah ini sesungguhnya adalah karunia kasih?”5

Pelayanan Gereja Sewaktu Remaja Putra

Terilhami oleh teladan orangtuanya dan termotivasi oleh hasratnya sendiri untuk membantu membangun kerajaan Tuhan di bumi, Ezra Taft Benson dengan bersemangat menerima panggilan-panggilan untuk melayani. Ketika dia berusaia 19 tahun, uskupnya, yang juga adalah kakeknya, meminta dia untuk melayani sebagai salah satu pemimpin dewasa bagi 24 remaja putra di lingkungan. Para remaja putra berperan serta dalam Pramuka Amerika, dan Ezra melayani sebagai asisten Pemimpin Regu.

Dalam pemanggilannya, salah satu di antara banyak tanggung jawab Ezra adalah membantu remaja putra menyanyi dalam paduan suara. Di bawah kepemimpinannya, para remaja putra memenangi sebuah kompetisi paduan suara dengan peserta dari lingkungan-lingkungan lain dalam pasak mereka, sehingga mereka memenuhi syarat untuk berkompetisi di tingkat regional. Untuk membantu memotivasi mereka untuk berlatih dan menyanyi sebaik mungkin, Ezra menjanjikan mereka bahwa jika mereka menang kompetisi regional, dia akan membawa mereka dalam kegiatan mendaki gunung sejauh 56 km ke sebuah danau. Rencana tersebut berhasil—para remaja putra dari Whitney menang.

“Kami mulai merencanakan pendakian kami,” Presiden Benson menceritakan, “dan saat pertemuan satu orang remaja kecil berusia 12 tahun mengangkat tangannya dan dengan pernyataan yang sangat formal mengatakan, ‘… Saya ingin mengajukan usulan.’ … Saya berkata, ‘Baiklah, apa usulannya?’ Dia berkata, ‘Saya ingin mengajukan usulan, agar kita tidak terganggu dengan sisir dan sikat dalam perjalanan ini, sebaiknya kita memotong rambut kita.’”

Pada akhirnya semua remaja putra setuju untuk memotong rambut sampai pendek sebagai persiapan untuk pendakian mereka. Mereka menjadi lebih bersemangat mengenai gagasan tersebut ketika salah satu di antara mereka menyarankan agar Pemimpin Regu memotong rambut mereka juga. Presiden Benson melanjutkan:

“Dua Pemimpin Regu duduk di kursi tukang cukur sementara tukang cukur dengan perasaan sangat gembira memotong rambut setiap kepala dengan alat cukurnya. Sebelum selesai mencukur, dia berkata, ‘Sekarang, jika Anda mengizinkan saya membotaki kepala Anda, saya akan melakukannya dengan cuma-cuma.’ Demikianlah kami mulai dengan pendakian itu—24 anak laki-laki dengan kepala yang dicukur pendek dan dua Pemimpin Regu dengan kepala botak.”

Berbicara mengenai pengalaman-pengalamannya bersama remaja putra di lingkungannya, Presiden Benson berkata, “Salah satu hal yang menyenangkan bekerja bersama anak laki-laki adalah fakta bahwa Anda memperoleh manfaat saat melaksanakan pekerjaan itu. Anda memiliki kesempatan untuk mengamati hasil dari kepemimpinan Anda setiap hari sewaktu Anda bekerja bersama mereka selama bertahun-tahun dan memerhatikan mereka tumbuh menjadi pria dewasa yang setia dan kuat, menerima dengan senang hati tantangan-tantangan dan tanggung jawabnya. Kepuasan semacam itu tidak dapat dibeli dengan nilai uang berapa pun; itu harus diperoleh melalui pelayanan dan pengabdian. Sungguh merupakan hal yang mulia dapat menjadi bagian, meskipun kecil, untuk membantu membangun anak laki-laki menjadi pria, pria sejati.”6

Presiden Benson tidak pernah melupakan para remaja putra tersebut, dan dia melakukan upaya-upaya untuk terus berhubungan dengan mereka. Bertahun-tahun setelah kegiatan pendakian 56 km itu, dia mengunjungi Lingkungan Whitney sebagai seorang anggota Kuorum Dua Belas Rasul dan berbicara dengan sekelompok kecil dari mereka. Mereka dapat memberitahukan kepadanya bahwa 22 dari 24 orang tetap setia di Gereja. Mereka telah kehilangan kontak dengan yang dua orang lainnya. Presiden Benson pada akhirnya menemukan kedua pria tersebut, membantu mereka kembali pada kegiatan Gereja, dan melaksanakan pemeteraian bait suci mereka.7

Berkencan dengan Flora

Di musim gugur tahun 1920, Ezra pergi ke Logan, Utah, kira-kira 40 km dari Whitney, untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Pertanian Utah (Sekarang Universitas Negeri Utah). Dia berada bersama beberapa teman ketika seorang wanita muda menarik perhatiannya. Dia kemudian menceritakan:

“Kami sedang berada dekat toko produk susu ketika seorang wanita muda—sangat menarik dan cantik—mengemudikan mobil kecilnya dalam perjalanan ke toko untuk membeli susu. Sewaktu anak-anak lelaki melambaikan tangan kepadanya, dia membalasnya. Saya berkata, ‘Siapa gadis itu?’ Mereka berkata ‘Itu Flora Amussen.’

Saya berkata kepada mereka, ‘Anda tahu, perasaan saya menyatakan bahwa saya akan menikah dengannya.’”

Teman-teman Ezra menertawakan pernyataannya, mengatakan, “Dia terlalu populer untuk seorang anak petani.” Tetapi dia tidak terpengaruh. “Itu menjadi semakin menarik,” dia menjawab.

Gambar
Flora Smith Amussen at college graduation Mrs. Ezra Taft Benson

Flora Amussen, sebelum dia menikah dengan Ezra Taft Benson

Tidak lama setelah percakapan ini, Flora dan Ezra bertemu untuk pertama kalinya di Whitney, di mana dia telah diundang untuk tinggal bersama salah satu sepupu Ezra. Dan segera setelah itu, Ezra mengundangnya ke sebuah kegiatan dansa. Dia menerima, dan kencan-kencan lain mengarah pada apa yang kemudian mereka sebut sebagai “kencan yang menyenangkan.” Tetapi kencan mereka terganggu—dan, dalam banyak hal, diperkuat—ketika Ezra menerima panggilan untuk melayani sebagai misionaris penuh waktu di Misi Inggris.

Sebagai persiapan untuk misi Ezra, dia dan Flora berbicara mengenai hubungan mereka. Mereka ingin persahabatan mereka berlanjut, tetapi mereka juga mengakui perlunya Ezra untuk menjadi misionaris yang setia. “Sebelum saya berangkat, Flora dan saya memutuskan untuk menulis [surat] hanya sekali sebulan,” dia berkata. “Kami juga memutuskan bahwa surat-surat kami akan memberikan dorongan, keyakinan dan berita. Kami melakukan seperti yang kami rencanakan.”8

Dua Misionaris

Misi Inggris, yang telah menjadi ladang yang berhasil bagi para misionaris Orang Suci Zaman Akhir di masa awal, berbeda bagi Penatua Benson dan rekan-rekannya. Para musuh di Kepulauan Inggris, termasuk sejumlah rohaniwan, telah menghasut timbulnya kebencian secara luas terhadap Orang-Orang Suci Zaman Akhir, menerbitkan artikel-artikel, novel-novel, sandiwara, dan film-film anti-Mormon. Penatua Benson jelas merasa sedih oleh perasaan getir orang-orang mengenai Injil yang dipulihkan, tetapi dia tidak membiarkan cobaan-cobaan semacam itu melemahkan imannya. Kenyataannya, dia menulis di dalam jurnalnya mengenai remaja lokal yang mengejek dia dan rekan-rekannya dengan meneriakkan “Mormon!” Tanggapan dalam hatinya adalah “Terima kasih Tuhan saya orang Mormon.”9

Selain membagikan Injil kepada orang-orang yang bukan anggota Gereja, Penatua Benson melayani sebagai pemimpin imamat dan juru tulis di antara para Orang Suci Zaman Akhir di Inggris Raya. Berbagai kesempatan untuk melayani ini menuntun pada pengalaman-pengalaman manis, sangat berbeda dengan kesulitan-kesulitan yang sering dia hadapi. Penatua Benson membaptis dan mengukuhkan beberapa orang, dan dia membantu banyak orang lagi menjadi dekat kepada Tuhan. Misalnya, dia menceritakan mengenai saat ketika, pada sebuah pertemuan khusus yang diorganisasi oleh para anggota Gereja yang penuh iman, dia dibimbing oleh Roh untuk berbicara dengan cara yang membantu teman-teman anggota untuk menerima kesaksian bahwa Joseph Smith adalah seorang Nabi Allah.10 Dia mencatat bahwa dia dan seorang rekan pernah memberikan berkat keimamatan kepada seorang wanita yang sakit parah yang sembuh kira-kira 10 menit kemudian.11 Dia bersukacita ketika, sebagai juru tulis, dia menemukan Orang-Orang Suci yang namanya berada dalam catatan Gereja tetapi yang telah hilang dalam catatan pemimpin lokal.12 Dia menerima pelatihan kepemimpinan yang berharga, melayani di bawah arahan dua presiden misi yang juga anggota Kuorum Dua Belas Rasul: Penatua Orson F. Whitney dan David O. McKay.

Penatua Benson bersyukur atas perlindungan Tuhan sewaktu dia mengkhotbahkan Injil. Suatu malam dia dan rekannya dikelilingi oleh sekelompok pria yang mengancam akan melemparkan mereka ke sungai. Dia berdoa dalam hati untuk bantuan. Lalu, seperti yang dia laporkan kemudian, “seorang asing berperawakan besar dan berotot muncul melalui kerumunan orang itu dan berdiri di samping saya. Dia memandang langsung ke arah mata saya dan mengatakan dengan suara yang kuat dan jelas, ‘Anak muda, saya percaya dengan setiap kata yang Anda ucapkan malam ini.’ Sewaktu dia berbicara kerumunan kecil orang yang mengelilingi saya bubar. Bagi saya ini adalah jawaban langsung terhadap doa. Lalu seorang petugas kepolisian Inggris muncul.”13

Ketika Penatua Benson tidak secara aktif melayani orang lain, dia “terus mengembangkan diri dengan ‘membaca dan menelaah Kitab Mormon,’ khususnya pengalaman misionaris para putra Mosia.”14 Dia juga menerima penghiburan dan dukungan melalui surat-surat dari rumah, yang dia katakan dia “baca berulang-ulang.” Menengok ke belakang ke misinya, dia berkata, “Ibu dan ayah mencurahkan isi hati mereka kepada saya melalui surat, dan memberikan kekuatan yang nyata bagi saya sebagai pemuda. [Surat-surat] dari Flora penuh dengan pernyataan rohani dan dorongan semangat, tidak pernah berisikan hal-hal yang romantis. Saya rasa justru itu meningkatkan kasih dan penghargaan saya terhadap dia lebih dari segala hal lainnya.”15

Penatua Benson menerima pembebastugasannya dari pelayanan misionaris penuh waktu pada tanggal 2 November 1923. Dia enggan untuk pergi, mengatakan bahwa mengucapkan selamat tinggal kepada “para Orang Suci yang baik yang dikasihinya” di Inggris Raya adalah “bagian tersulit dari misi[nya].”16 Namun, dia bahagia akan harapan bersatu kembali dengan keluarganya, dan dia menantikan saat untuk bertemu dengan Flora.

Flora juga menantikan saat untuk bertemu dengan Ezra. Tetapi dia melakukan lebih dari sekadar mengantisipasi kemungkinan langsung untuk meluangkan waktu bersamanya. Dia benar-benar mengharapkan—potensi dan masa depannya. Sejak masa dia remaja, dia telah mengatakan bahwa dia “ingin menikah dengan seorang petani,”17 dan dia bahagia dengan hasrat Ezra yang tampaknya ingin menetap di tanah pertanian keluarga di Whitney, Idaho. Akan tetapi, dia merasa bahwa Ezra perlu menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Dia kemudian mengatakan, “[Saya] berdoa dan berpuasa agar Tuhan menolong saya mengetahui bagaimana saya dapat menolong dia memberikan pelayanan terbaik bagi sesama manusia. Saya menyadari bahwa jika Uskup menganggap saya layak, [dia akan] memanggil saya untuk melayani misi. Gereja memanggil Ezra terlebih dahulu, sehingga saya tahu dia tidak akan mengatakan apa pun untuk menentangnya.”18

Ezra terkejut ketika, setelah dia dan Flora mulai berkencan lagi, Flora mengatakan kepadanya bahwa dia telah menerima panggilan untuk melayani misi di Kepulauan Hawaii. Dia ditetapkan pada tanggal 25 Agustus 1924, dan dia berangkat keesokan harinya. Tepat setelah dia berangkat, Ezra menulis di dalam jurnalnya: “Kami berdua bahagia karena kami merasa masa depan ada di hadapan kami dan bahwa perpisahan ini akan dipersatukan kembali nanti. Bagaimanapun, sulit untuk melihat harapan seseorang hancur. Tetapi walaupun kami terkadang menangis mengenainya, kami menerima kepastian dari-Nya yang mengatakan kepada kami bahwa semua itu adalah yang terbaik untuk kami.”19

Semua itu sesungguhnya adalah untuk yang terbaik. Flora adalah, menurut perkataan presiden misinya, “seorang yang sangat baik dan bersemangat”20 yang memberikan “hati dan jiwa, waktu, dan bakat-bakatnya pada pekerjaan Tuhan.”21 Dia mengawasi organisasi Pratama di beberapa area di misi, mengajar anak-anak di sebuah sekolah dasar, melayani di bait suci, dan berperan serta dalam upaya-upaya untuk memperkuat para Orang Suci Zaman Akhir lokal. Dia bahkan melayani untuk beberapa waktu sebagai rekan misionaris untuk ibunya yang janda, Barbara Amussen, yang dipanggil untuk misi jangka waktu yang singkat. Bersama-sama, kerekanan ibu dan anak ini menemukan seorang pria yang telah menjadi anggota Gereja bertahun-tahun sebelumnya di Amerika Serikat berkat upaya-upaya ayahnya Flora, Carl Amussen. Orang insaf ini kemudian menjadi tidak aktif dari Gereja, tetapi Flora dan ibunya menemani dia dan membantu dia kembali ke Gereja.22

Sementara Flora pergi, Ezra tetap sibuk. Dia dan adiknya, Orval, membeli tanah pertanian keluarga dan melanjutkan pendidikan mereka. Untuk suatu masa, Ezra kuliah di Universitas Brigham Young di Provo, Utah, sementara Orval tinggal di Whitney mengurus tanah pertanian. Mereka sepakat bahwa setelah Ezra menyelesaikan sekolah, dia akan kembali ke tanah pertanian sementara Orval melayani misi dan menyelesaikan pendidikannya. Dengan tekad untuk bisa menyelesaikan kuliah di BYU dengan cepat, Ezra mengambil jadwal kelas yang ambisius. Dia juga berperan serta dalam kegiatan-kegiatan sosial di universitas, termasuk dansa, pesta, dan produksi-produksi drama.

Gambar
President Ezra Taft Benson in cap and gown, graduation

Ezra Taft Benson ketika dia lulus dari Universitas Brigham Young tahun 1926

Walaupun Ezra terpilih sebagai “Pria yang Paling Populer di BYU” selama tahun terakhirnya di sekolah, tidak seorang wanita pun mampu mencuri perhatiannya dari Flora. Dia kemudian mengatakan bahwa ketika Flora menyelesaikan misinya di bulan Juni 1926, dia “tidak sabar” untuk bertemu dengannya, walaupun dia menyatakan bahwa dia tidak “menunggu” dia untuk kembali.23 Dia lulus dengan nilai terbaik hanya beberapa bulan sebelum Flora kembali dari misi.

Memulai Kehidupan Bersama

Satu bulan setelah Flora kembali dari misinya, dia dan Ezra mengumumkan pertunangan mereka. Sejumlah orang terus mempertanyakan keputusan Flora. Mereka tidak memahami mengapa seseorang yang begitu berprestasi, kaya, dan populer mau menerima seorang anak petani. Tetapi dia terus mengatakan bahwa dia telah “selalu ingin menikah dengan seorang petani.”24 Ezra adalah orang yang “praktis, bijaksana dan kuat,” dia berkata. Dan, dia mengamati, “Dia baik terhadap orangtuanya, dan saya tahu jika dia menghormati mereka, dia akan menghormati saya.”25 Flora mengenali bahwa dia adalah “berlian yang masih bisa dipoles,” dan dia berkata, “Saya akan melakukan dengan segenap kemampuan saya untuk membantu dia dikenal dan diakui untuk kebaikan, tidak saja di komunitas kecil ini tetapi seluruh dunia akan mengenal dia.”26

Flora dan Ezra dimeteraikan pada tanggal 10 September 1926, di Bait Suci Salt Lake oleh Penatua Orson F. Whitney dari Kuorum Dua Belas Rasul. Satu-satunya perayaan yang diadakan setelah pernikahan adalah sarapan pagi untuk keluarga dan teman-teman. Setelah sarapan pagi, pasangan baru itu langsung berangkat dengan truk pikap Ford Model T mereka menuju Ames, Iowa, di mana Ezra telah diterima untuk melanjutkan program S2 sains jurusan ekonomi pertanian di Perguruan Tinggi Negeri Iowa bidang Pertanian dan Seni Mekanis (sekarang Universitas Negeri Iowa bidang Sains dan Teknologi).

Sebagian besar dari perjalanan mereka adalah melewati jalan-jalan tanah dan melewati pedesaan yang penduduknya jarang. Dalam perjalanan, mereka meluangkan waktu delapan malam dalam sebuah tenda yang bocor. Ketika mereka tiba di Ames, mereka menyewa sebuah apartemen satu blok dari kampus perguruan tinggi. Apartemen tersebut kecil, dan keluarga Benson berbagi tempat dengan kecoa yang jumlahnya banyak, tetapi Ezra mengatakan bahwa “tempat itu segera akan terlihat seperti pondok kecil yang paling nyaman yang bisa dibayangkan.”27 Ezra sekali lagi memusatkan perhatiannya pada pendidikannya. Kurang dari satu tahun kemudian, setelah jam-jam yang tak terhitung jumlahnya melalui belajar, kuliah, dan menulis, dia lulus dengan gelar S2. Pasangan tersebut, sekarang menantikan bayi pertama mereka, kembali ke tanah pertanian Benson di Whitney.

Menyeimbangkan Kesempatan Profesional dan Pemanggilan Gereja

Ketika keluarga Benson kembali ke Whitney, Ezra melibatkan diri sepenuhnya dalam operasi sehari-hari tanah pertanian, yang mencakup memerah sapi, berternak babi dan ayam, dan menanam bit gula, gandum, alfalfa, dan tanaman pangan lainnya. Orval dipanggil untuk melayani misi penuh waktu di Denmark.

Kurang dari dua tahun kemudian, para pemimpin pemerintah lokal menawarkan kepada Ezra pekerjaan sebagai juru kuasa pertanian kabupaten. Dengan dorongan dari Flora, Ezra menerima posisi tersebut, meskipun itu berarti meninggalkan tanah pertanian dan pindah ke kota Preston yang berdekatan. Dia menyewa seorang petani lokal untuk mengelola tanah pertanian sampai Orval kembali.

Tanggung jawab baru Ezra mencakup memberikan konseling kepada para petani lokal mengenai isu-isu yang memengaruhi produktivitas mereka. Lebih dari hal lain apa pun, dia merasa bahwa para petani membutuhkan keterampilan pemasaran yang lebih baik—sesuatu yang menjadi semakin penting setelah peristiwa Depresi Hebat, dan sesuatu yang dia, dengan pendidikannya dalam ekonomi pertanian, berada dalam posisi mampu memberikan keterampilan tersebut. Dia mendorong para petani untuk berperan serta dalam perkumpulan koperasi petani, yang akan membantu mereka mengurangi biaya dan mendapatkan harga terbaik untuk pekerjaan.28

Kemampuan Ezra sebagai pemimpin pertanian telah menciptakan peluang-peluang pekerjaan lainnya. Dari tahun 1930 hingga 1939, dia bekerja sebagai ahli ekonomi pertanian dan spesialis di Unversitas Idaho Divisi Perluasan di Boise, ibu kota negara bagian Idaho. Tanggung jawab-tanggung jawab tersebut terganggu di antara Agustus 1936 dan Juni 1937, ketika keluarga Benson pindah ke California agar Ezra dapat mempelajari ekonomi pertanian di Universitas California di Berkeley.

Bahkan dengan tanggung jawab-tanggung jawab yang sangat penting di tempat kerja dan di rumah, Ezra dan Flora Benson meluangkan waktu untuk melayani di Gereja. Di Whitney, Preston, dan Boise, mereka dipanggil untuk mengajar dan memimpin remaja.29 Mereka menerima panggilan ini dengan antusiasme, percaya bahwa “remaja adalah masa depan kita.”30 Ezra juga menerima kesempatan untuk membantu pekerjaan misionaris lokal.31 Di Boise, Ezra dipanggil untuk melayani sebagai penasihat dalam presidensi pasak. Dia bahkan melanjutkan dalam posisi tersebut selama masa dia dan keluarganya tinggal di California. Pasak Boise tumbuh dengan cepat, dan di bulan November 1938, Penatua Melvin J. Ballard dari Kuorum Dua Belas Rasul membagi pasak tersebut menjadi tiga pasak. Ezra Taft Benson dipanggil untuk melayani sebagai salah satu dari presiden pasak.

Di bulan Januari 1939, Ezra terkejut ketika ditawarkan posisi sebagai sekretaris eksekutif untuk Dewan Koperasi Petani Nasional di Washington, D.C. Dia berunding dengan Flora mengenai kesempatan ini. Karena dia telah ditetapkan sebagai presiden pasak baru dua bulan sebelumnya, dia juga menghubungi Presidensi Utama untuk meminta nasihat mereka. Mereka mendorong dia untuk menerima jabatan tersebut, sehingga dia dan keluarganya mengucapkan salam perpisahan kepada teman-teman mereka di Boise di bulan Maret 1939 dan pindah ke Bethesda, Maryland, dekat dengan Washington, D.C. Di bulan Juni 1940 dia dipanggil untuk melayani sebagai presiden pasak kembali, kali ini di Pasak Washington di Washington, D.C. yang baru saja diorganisasi.

Keluarga yang Bersatu dan Mengasihi

Ezra dan Flora Benson selalu ingat makna kekal dari hubungan mereka terhadap satu sama lain dan hubungan mereka dengan anak-anak mereka, orangtua mereka yang sudah lanjut usia, dan saudara-saudara kandung mereka. Penekanan mereka mengenai mempertahankan keluarga yang bersatu lebih dari sekadar rasa tanggung jawab; mereka saling mengasihi dengan tulus, dan mereka ingin bersama—dalam kehidupan ini dan di sepanjang kekekalan.

Banyaknya tanggung jawab Ezra dalam pemanggilan di Gereja dan tugas-tugas profesional sering mengharuskan dia pergi jauh dari rumah. Terkadang ungkapan dari anak-anak yang masih kecil menekankan fakta ini. Misalnya, sewaktu dia berangkat untuk sebuah pertemuan Gereja di suatu Minggu, putrinya, Barbara, mengatakan, “Selamat tinggal, ayah. Dan kembalilah lagi dan kunjungi kami kapan-kapan.”32 Itu merupakan tantangan bagi Flora untuk membesarkan keenam anak mereka dengan suaminya pergi begitu sering, dan dia terkadang mengakui perasaan “kesepian dan sedikit patah semangat.”33 Namun, melalui semua itu, dia menghargai perannya sebagai istri dan ibu, dan dia senang terhadap pengabdian suaminya kepada Tuhan dan keluarga. Dalam sebuah surat kepada Ezra, dia menulis: “Hari-hari biasa tampak bagaikan berbulan-bulan sejak engkau pergi .… [Tetapi] jika semua pria … mengasihi dan menjalankan agama mereka sepertimu, maka kesedihan [dan] penderitaan akan menjadi sangat sedikit .… Engkau selalu mengabdi pada keluargamu dan siap di setiap saat untuk memberikan bantuan kepada orang-orang lain yang membutuhkan.”34

Ezra menunjukkan pengabdian ini kapan pun dia pulang ke rumah. Dia meluangkan waktu untuk tertawa dan bermain dengan keenam anaknya, mendengarkan mereka, meminta pendapat mereka mengenai isu-isu penting, mengajarkan Injil, membantu mereka dengan pekerjaan rumah tangga, dan meluangkan waktu dengan setiap dari mereka secara individu. Anak-anak mendapatkan penghiburan dan kekuatan dalam kasih orangtua mereka yang bersatu untuk mereka (Karena keluarga begitu penting bagi Ezra Taft Benson, buku ini berisikan dua bab ajaran-ajarannya mengenai hal ini. Bab-bab tersebut, berjudul “Pernikahan dan Keluarga—Ditahbiskan oleh Allah” dan “Pemanggilan Sakral Ayah dan Ibu,” mencakup kenangan-kenangan dari anak-anak Benson mengenai rumah penuh kasih di masa kanak-kanak mereka).

Panggilan pada Kerasulan

Di musim panas tahun 1943, Ezra meninggalkan Maryland bersama putranya Reed untuk mengadakan perjalanan keliling ke beberapa koperasi pertanian di Kalifornia sebagai bagian dari tanggung jawabnya dalam Dewan Koperasi Petani Nasional. Dia juga merencanakan untuk bertemu dengan para pemimpin Gereja di Salt Lake City dan mengunjungi para anggota keluarga di Idaho.

Pada tanggal 26 Juli, setelah menyelesaikan tujuan-tujuan dari perjalanan mereka, mereka kembali ke Salt Lake City sebelum berangkat pulang. Mereka mengetahui bahwa Presiden David O. McKay, yang telah bertemu dengan Ezra kurang dari dua minggu yang lalu, sedang mencari dia. Ezra menelepon Presiden McKay, yang mengatakan kepadanya bahwa Presiden Heber J. Grant, yang waktu itu adalah Presiden Gereja, ingin bertemu dengannya. Ezra dan Reed diantar ke rumah musim panas Presiden Grant yang jaraknya beberapa menit dari pusat kota Salt Lake City. Ketika mereka tiba, “Ezra langsung ditunjukkan ke kamar tidur Presiden Grant, di mana nabi yang sudah uzur tersebut beristirahat. Atas permintaan Presiden, Ezra menutup pintu dan menghampirinya, duduk di kursi di samping tempat tidur. Presiden Grant memegang tangan kanan Ezra dengan kedua tangannya, dengan air mata berlinang, dengan hanya mengatakan, ‘Brother Benson, dengan segenap hati saya, saya mengucapkan selamat kepada Anda dan berdoa kepada Allah untuk memberkati Anda. Anda telah dipilih sebagai salah satu anggota termuda Dewan Dua Belas Rasul.’”35

Dalam jurnalnya, Ezra menceritakan pengalaman tersebut:

“Pemberitahuan tersebut tampaknya sulit dipercaya dan berlebihan. … Selama beberapa menit [saya] hanya dapat mengatakan, ‘Oh, Presiden Grant, itu tidak mungkin!’ yang harus saya ulangi beberapa kali sebelum saya mampu menjadi cukup tenang untuk menyadari apa yang telah terjadi .… Dia memegang tangan saya lama sekali sementara kami berdua mencucurkan air mata kami .… Selama lebih dari satu jam kami berada sendirian, sebagian besar waktu dengan kedua tangan kami bergenggaman dengan hangat. Walaupun [dia] lemah, pikirannya jernih dan awas, dan saya sangat terkesan dengan sikapnya yang manis, baik dan rendah hati sementara dia seolah menatap ke jiwa saya.

Saya merasa sangat lemah dan tidak layak sehingga kata-kata penghiburan dan penenteraman hati yang dia sampaikan sangat saya hargai. Di antara hal-hal lain yang dia katakan, ‘Tuhan memiliki cara untuk mengembangkan orang yang dipanggil pada posisi kepemimpinan.’ Ketika dalam kelemahan saya, saya mampu menyatakan bahwa saya mengasihi Gereja dia mengatakan, ‘Kami tahu itu, dan Tuhan menginginkan orang-orang yang akan memberikan segalanya untuk pekerjaan-Nya.’”36

Setelah wawancara ini, Ezra dan Reed diantar ke rumah Presiden McKay. Dalam perjalanan, Ezra tidak menceritakan apa pun mengenai pengalamannya bersama Presiden Grant, dan Reed tidak bertanya. Ketika mereka tiba di rumah McKay, Presiden McKay memberi tahu Reed apa yang telah terjadi. Kemudian Ezra dan Reed berpelukan.

Ezra gelisah pada malam itu sementara dia dan Reed mulai melakukan perjalanan pulang dengan kereta api. Keesokan harinya, dia menelepon Flora dan menceritakan kepadanya mengenai pemanggilannya pada Kerasulan. “Dia mengatakan betapa dia merasa sangat senang dan mengungkapkan keyakinannya yang penuh bahwa saya bisa memenuhi pemanggilan tersebut,” dia mengenang. “Berbicara kepadanya memberikan perasaan yang tenteram. Dia senantiasa menunjukkan iman yang lebih kuat terhadap saya daripada saya sendiri.”37

Selama beberapa minggu berikutnya, Ezra dan Flora melakukan persiapan-persiapan untuk pindah ke Utah, dan Ezra melakukan segala yang dapat dia lakukan untuk melakukan transisi yang mulus kepada penggantinya di Dewan Koperasi Petani Nasional. Dia dan Spencer W. Kimball didukung sebagai anggota Kuorum Dua Belas Rasul pada tanggal 1 Oktober 1943, dan mereka ditahbiskan sebagai Rasul pada tanggal 7 Oktober, dengan Penatua Kimball ditahbiskan terlebih dahulu.

Maka dimulailah pelayanan Penatua Ezra Taft Benson sebagai salah satu dari “saksi khusus bagi nama Kristus di seluruh dunia” (A&P 107:23).

Gambar
Quorum of the Twelve ca. 1950 [Back Row Left to Right: Delbert L. Stapley, Henry D. Moyle, Matthew Cowley, Mark E. Petersen, Harold B. Lee, Ezra Taft Benson, Spencer W. Kimball; Front Row Left to Right: John A. Widtsoe, Stephen L. Richards, David O. McKay, Joseph Fielding Smith, Joseph F. Merrill, A.E. Bowen.

Kuorum Dua Belas Rasul, sekitar Oktober 1950 dan April 1951. Berdiri, kiri ke kanan: Delbert L. Stapley; Henry D. Moyle; Matthew Cowley; Mark E. Petersen; Harold B. Lee; Ezra Taft Benson; Spencer W. Kimball. Duduk, kiri ke kanan: John A. Widtsoe; Stephen L Richards; David O. McKay, Presiden Kuorum Dua Belas; Joseph Fielding Smith, Penjabat Presiden; Joseph F. Merrill; Albert E. Bowen.

Menyediakan Makanan, Pakaian, dan Harapan Setelah Perang di Eropa

Pada tanggal 22 Desember 1945, Presiden George Albert Smith, yang waktu itu Presiden Gereja, meminta untuk mengadakan pertemuan khusus bagi Presidensi Utama dan Kuorum Dua Belas Rasul. Dia mengumumkan bahwa Presidensi Utama telah terasa terilhami untuk mengirimkan seorang Rasul untuk memimpin Misi Eropa dan mengawasi upaya-upaya Gereja di sana. Perang Dunia II telah berakhir di awal tahun itu, dan banyak negara Eropa baru mulai pulih dari kehancuran yang tersebar luas dan mengerikan akibat perang. Penatua Ezra Taft Benson, Presidensi Utama merasa, adalah orang yang tepat untuk melakukan pekerjaan itu.

Berita ini datang sebagai “yang sangat mengejutkan” bagi Penatua Benson, yang merupakan anggota kuorum yang paling baru dan paling muda. Seperti pemanggilan misi ayahnya 34 tahun sebelumnya, penugasan ini akan mengharuskan dia terpisah dari keluarganya yang masih muda. Presidensi Utama tidak dapat mengatakan berapa lama dia akan pergi. Akan tetapi, dia memastikan kepada mereka bahwa istri dan anak-anaknya akan mendukung dia, dan dia mengungkapkan kesediaan penuh untuk melayani.38 Dia kemudian menggambarkan penugasan yang telah dia terima:

“Tampaknya tanggung jawab tersebut luar biasa besarnya. Mereka [Presidensi Utama] memberi kami empat tanggung jawab utama: Pertama, untuk menangani urusan rohani Gereja di Eropa; kedua, untuk berupaya menyediakan makanan, pakaian, dan seprai dan selimut bagi para Orang Suci kita yang menderita di seluruh bagian Eropa; ketiga, untuk mengarahkan pengorganisasian berbagai misi di Eropa; dan, keempat, untuk mempersiapkan kembalinya misionaris ke negara-negara tersebut.”39 Tetapi Presiden Smith memberi dia janji yang menghibur ini: “Saya sama sekali tidak khawatir mengenai Anda. Anda akan aman di sana seperti di mana pun di dunia jika Anda mengurus diri Anda sendiri, dan Anda akan mampu menyelesaikan sebuah pekerjaan yang besar.”40

Penatua Benson menggambarkan pengalaman itu ketika dia membagikan kabar tersebut kepada istri dan keluarganya: “Dalam percakapan yang manis dan mengesankan kepada istri saya, disucikan dengan air mata, Flora mengungkapkan rasa syukur yang penuh kasih dan meyakinkan saya mengenai dukungan sepenuh hatinya. Di saat makan malam saya memberi tahu anak-anak, yang terkejut, tertarik, dan setia sepenuhnya.”41

Ketika Penatua Benson dan rekannya, Frederick W. Babbel, tiba di Eropa, mereka merasa sedih akan kondisi penyakit, kemiskinan, dan kehancuran yang mereka lihat di sekeliling mereka. Misalnya, dalam sepucuk surat kepada Flora, Penatua Benson menceritakan mengenai para ibu yang bersyukur menerima bingkisan yang berisikan sabun mandi, jarum-jarum dan benang, dan sebuah jeruk. Mereka sudah bertahun-tahun tidak melihat hal-hal seperti itu. Penatua Benson dapat melihat bahwa, dengan jatah yang sangat sedikit yang telah diberikan kepada mereka di waktu sebelumnya, mereka telah “menjadikan diri mereka sendiri kelaparan demi mengupayakan dan memberikan lebih banyak bagian kepada anak-anak mereka dalam perilaku ibu yang sejati.”42 Dia menceritakan mengenai pertemuan Gereja di “bangunan-bangunan yang telah terkena bom” dan dalam kondisi “hampir gelap sepenuhnya.”43 Dia menceritakan mengenai para pengungsi—“orang-orang yang miskin, yang tidak diinginkan, … yang diusir dari tempat-tempat yang dahulunya adalah rumah bahagia mereka ke tujuan-tujuan yang tidak diketahui.”44 Dia juga menceritakan mengenai mukjizat-mukjizat yang terjadi di tengah-tengah kondisi yang mengerikan akibat perang.

Satu mukjizat jelas terjadi dalam kehidupan para Orang Suci Zaman Akhir di seluruh Eropa. Dalam perjalanan ke sana, Penatua Benson bertanya-tanya dalam hati bagaimana para Orang Suci akan menerima dia. “Apakah hati mereka akan dipenuhi dengan kepahitan? Apakah akan ada kebencian di sana? Apakah mereka akan berpaling untuk menentang Gereja?” Dia terharu oleh apa yang dia temukan:

“Sewaktu saya melihat ke arah wajah mereka yang sedih, pucat, kurus, banyak di antara para Orang Suci ini berpakaian compang-camping, ada yang tidak memakai alas kaki, saya dapat melihat cahaya iman dalam mata mereka sewaktu mereka memberikan kesaksian mengenai keilahian pekerjaan zaman akhir yang besar ini, dan mengungkapkan rasa syukur mereka atas berkat-berkat Tuhan .…

Kami menemukan bahwa para anggota Gereja kita telah melanjutkan hidup dengan cara yang menakjubkan. Iman mereka kuat, pengabdian mereka lebih besar, dan kesetiaan mereka tidak tertandingi. Kami menemukan sangat sedikit, kalaupun ada, kepahitan atau keputusasaan. Terdapat semangat penemanan dan persaudaraan yang telah menjangkau dari satu misi ke misi lainnya, dan sewaktu kami melanjutkan perjalanan, para Orang Suci meminta kami menyampaikan salam mereka kepada para brother dan sister mereka di negara-negara lain walaupun negara-negara mereka sendiri telah dilanda perang beberapa bulan sebelumnya.” Bahkan para pengungsi “menyanyikan lagu-lagu Sion dengan … penuh semangat” dan “berlutut bersama dalam doa setiap malam dan pagi dan memberikan kesaksian … mengenai berkat-berkat Injil.”45

Mukjizat lain adalah kekuatan dari program kesejahteraan Gereja. Upaya ini, yang telah dimulai 10 tahun sebelumnya, telah menyelamatkan nyawa banyak Orang Suci Zaman Akhir di Eropa. Para Orang Suci diberkati karena mereka telah menerapkan asas-asas kesejahteraan mereka sendiri. Mereka saling menolong dalam kebutuhan mereka, berbagi makanan, pakaian, dan perbekalan-perbekalan lain, dan mereka bahkan berkebun di bangunan-bangunan yang telah terserang bom. Mereka juga diberkati karena para Orang Suci Zaman Akhir dari bagian-bagian lain di dunia menyumbangkan barang-barang untuk membantu mereka—kira-kira 2.000 ton perbekalan. Penatua Benson menceritakan mengenai para pemimpin Gereja menangis saat melihat makanan kebutuhan dasar yang dapat mereka distribusikan kepada para anggota lokal, dan dia mengatakan bahwa dia berdiri di hadapan para jemaat di mana diperkirakan bahwa 80 persen dari semua pakaian yang mereka pakai telah dikirim melalui program kesejahteraan.46 Dalam sebuah ceramah konferensi umum yang dia sampaikan tidak lama setelah kembali pulang, dia berkata, “Brother dan sister sekalian, apakah Anda membutuhkan bukti lebih lanjut akan pentingnya program ini dan ilham yang bertanggung jawab untuk itu? … Saya beri tahukan kepada Anda bahwa Allah yang mengarahkan program ini. Ini adalah program yang diilhami-Nya!”47

Gambar
Ezra Taft Benson in Bergen, Norway. Caption: "Inspecting welfare supplies with Pres. Petersen in mission office basement." Collection Summary: Black-and-white views taken during Benson's February-December 1946 mission to postwar Europe to meet with Latter-day Saints, direct distribution of welfare supplies, and arrange for resumption of missionary work.

Penatua Benson, kanan, menginspeksi perbekalan kesejahteraan di Bergen, Norwegia

Penatuan Benson dan Brother Babbel mengalami mukjizat lain yang terjadi kembali sewaktu Tuhan membukakan jalan bagi mereka untuk mengadakan perjalanan di antara negara-negara yang tercabik-cabik perang di Eropa. Berkali-kali, Penatua Benson meminta izin kepada para pejabat militer untuk memasuki wilayah-wilayah tertentu untuk bertemu dengan para Orang Suci dan mendistribusikan makanan. Berkali-kali, dia pada dasarnya menerima tanggapan yang sama dari para pemimpin tersebut dan orang-orang lain: “Tidakkah Anda menyadari di sini ada perang? Penduduk sipil tidak diizinkan masuk.” Dan berkali-kali, setelah dia memandang mata para pemimpin tersebut dan dengan tenang menjelaskan misinya, dia dan Brother Babbel akhirnya diizinkan untuk mengadakan perjalanan dan menyelesaikan apa yang telah Tuhan utus untuk mereka lakukan.48

Setelah kira-kira 11 bulan, Penatua Benson digantikan oleh Penatua Alma Sonne, seorang Asisten Dewan Dua Belas Rasul, yang melayani di Eropa bersama istrinya, Leona. Brother Babbel tetap membantu keluarga Sonne. Sejak saat Penatua Benson meninggalkan Salt Lake City pada tanggal 29 Januari 1946, hingga saat dia kembali pada tanggal 13 Desember 1946, dia telah menempuh perjalanan sebanyak 61.236 mil (98.550 kilometer). Penatua Benson merasa misinya telah berhasil, tetapi dia cepat untuk mengatakan, “Saya tahu sumber keberhasilan yang telah menyertai pekerjaan kami. Tidak pernah di saat kapan pun saya merasa akan memungkinkan bagi saya atau rekan-rekan saya untuk menyelesaikan misi yang telah ditugaskan kepada kami tanpa kuasa pengarahan dari Yang Mahakuasa.”49 Keberhasilan misi tersebut bisa dilihat dalam kekuatan Gereja di negara-negara Eropa, yang baru saja diorganisasi dan tumbuh. Keberhasilan dapat juga dilihat dalam kehidupan Orang Suci secara individu—individu seperti seorang pria yang pernah menghampiri Presiden Thomas S. Monson bertahun-tahun kemudian dalam sebuah pertemuan di Zwickau, Jerman. Dia meminta Presiden Monson untuk menyampaikan salam kepada Ezra Taft Benson. Kemudian dia menyatakan, “Dia menyelamatkan nyawa saya. Dia memberi saya makanan untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai. Dia memberi saya harapan. Semoga Allah memberkati dia!”50

Patriotisme, Kenegarawanan, dan Pelayanan di Pemerintah Amerika Serikat

Saat Penatua Benson berada jauh dari rumah, dia diingatkan mengenai sesuatu yang dia hormati sejak remajanya: kewarganegaraannya di Amerika Serikat. Dari ayahnya, George Taft Benson Jr., dia telah belajar untuk mengasihi negara kelahirannya dan asas-asas yang dengannya negara itu didirikan. Dia telah belajar bahwa Undang-Undang Amerika Serikat—dokumen yang mengatur hukum-hukum di negara—telah dibuat oleh orang-orang yang diilhami. Dia menghargai hak untuk memberikan suara, dan dia selalu ingat sebuah percakapan yang dia alami dengan ayahnya setelah pemilihan. George telah secara terbuka mendukung seorang kandidat tertentu, dan dia bahkan telah berdoa untuk orang ini dalam doa-doa keluarga. Setelah George mengetahui bahwa kandidatnya kalah dalam pemilihan, Ezra mendengar dia berdoa untuk pria yang telah menang. Ezra menanyakan kepada ayahnya mengapa dia bersedia mendoakan kandidat yang bukan merupakan pilihannya. “Nak,” George menjawab, “Saya rasa dia akan membutuhkan doa-doa kita bahkan lebih banyak lagi daripada kandidat saya.”51

Pada bulan April 1948, Penatua Benson memberikan ceramah pertamanya dari banyak ceramah konferensi umum yang memfokuskan pada “misi kenabian” Amerika Serikat dan pentingnya kebebasan. Dia bersaksi bahwa Tuhan telah mempersiapkan Amerika Serikat “sebagai tempat asal kebebasan” sehingga Injil dapat dipulihkan di sana.52 “Kita adalah pengikut Raja Damai,” dia mengajarkan menjelang akhir ceramahnya, “dan kita hendaknya mengabdikan kembali kehidupan kita pada penyebaran kebenaran dan kesalehan dan pelestarian … kebebasan dan kemerdekaan.”53 Dalam ceramah-ceramah berikutnya, dia berbicara mengenai Amerika Serikat sebagai “landasan operasi Tuhan di zaman akhir ini.”54

Penatua Benson memperingatkan mengenai ancaman-ancaman terhadap kebebasan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Dia sering berbicara dengan tegas menentang “sistem yang melibatkan paksaan yang dibuat oleh manusia” dalam pemerintahan, “yang bertentangan dengan asas-asas kekal.”55 Dia juga memperingatkan mengenai pengaruh-pengaruh lain yang mengancam kebebasan, termasuk hiburan amoral, kurangnya rasa hormat terhadap hari Sabat, rasa puas diri, dan ajaran-ajaran palsu.56 Dia mendorong para Orang Suci Zaman Akhir di seluruh dunia untuk menggunakan pengaruh mereka untuk membantu memastikan agar orang-orang yang bijaksana dan baik dipilih pada jabatan publik.57 Dia menyatakan: “Pengkhotbahan Injil yang efektif hanya dapat berkembang dalam suasana kebebasan. Ya, kita semua mengatakan, kita mencintai kebebasan. Tetapi itu tidak cukup. Kita harus melindungi dan mengamankan sesuatu yang kita cintai. Kita harus menyelamatkan kebebasan.”58

Pada tanggal 24 November 1952, kata-kata keras Penatua Benson mengenai patriotisme dibuktikan sewaktu dia menerima undangan untuk melayani negaranya. Dia melakukan perjalanan ke New York City atas undangan Dwight D. Eisenhower, yang baru saja dipilih sebagai presiden Amerika Serikat. Presiden Terpilih Eisenhower mempertimbangkan Penatua Benson untuk melayani dalam kabinetnya—dengan kata lain, untuk menjadi salah satu penasihat tertingginya—dalam posisi Menteri Pertanian untuk seluruh negeri. Penatua Benson merasa terhormat dengan perhatian ini. “Tetapi,” dia kemudian berkata, “Saya tidak menginginkan pekerjaan tersetersebut …. Tidak seorang pun yang cerdas, saya berkata kepada diri saya sendiri, akan menginginkan menjadi Menteri Pertanian dalam kondisi seperti ini .… Saya tahu sesuatu yang dibutuhkan oleh jabatan tersebut: konflik-konflik yang menghancurkan, tekanan-tekanan yang berat, masalah-masalah yang rumit .…

Tetapi bukan hanya masalah-masalah dan tekanan-tekanan saja yang menjadi perhatian saya. Kita semua memiliki itu. Seperti banyak orang Amerika, saya enggan terlibat aktif dalam politik. Tentu saja, saya ingin melihat orang-orang yang memiliki cita-cita luhur dan karakter yang baik dipilih dan diangkat untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi itu berbeda sekali jika saya harus terlibat sendiri di dalamnya .…Akan

tetapi, terlebih penting lagi, saya merasa lebih dari puas dengan pekerjaan yang sudah saya lakukan sebagai salah satu anggota Dewan Dua Belas Rasul .… Saya tidak menghasratkan dan tidak pula berniat untuk melakukan perubahan.”59

Sebelum pergi untuk menemui Presiden Terpilih Eisenhower, Penatua Benson telah meminta nasihat dari Peresiden David O. McKay, Presiden Gereja waktu itu. Presiden McKay mengatakan kepadanya: “Brother Benson, pikiran saya jelas mengenai hal ini. Jika kesempatan datang dalam sikap yang benar saya rasa Anda hendaknya menerimanya.”60 Nasihat langsung ini, digabungkan dengan hasrat mendalam Penatua Benson untuk “secara efektif memperjuangkan kepercayaan [nya] sebagai orang Amerika,” menimbulkan apa yang dia sebut sebagai “perdebatan batin.”61

Ketika Preiden Eisenhower dan Penatua Benson bertemu untuk pertama kalinya, tidak dibutuhkan waktu yang lama bagi presiden terpilih tersebut untuk menawarkan kepada Penatua Benson jabatan sebagai Menteri Pertanian. Penatua Benson segera memberikan beberapa alasan mengapa dia mungkin bukan orang yang tepat untuk jabatan tersebut, tetapi Presiden Terpilih Eisenhower tidak menyerah. Dia berkata, “Kita memiliki pekerjaan yang harus dilakukan. Terus terang, saya tidak ingin menjadi Presiden, ketika tekanan tersebut muncul. Tetapi Anda tidak bisa menolak untuk melayani Amerika. Saya ingin Anda berada dalam tim saya, dan Anda tidak bisa mengatakan tidak.”62

“Pernyataan tersebut memengaruhi keputusan saya,” kenang Penatua Benson. “Syarat-syarat dari nasihat Presiden McKay telah dipenuhi. Walaupun saya merasa saya telah menerima dari Gereja saya apa menurut pandangan saya kehormatan yang lebih besar daripada yang dapat diberikan pemerintah, dan saya mengatakan kepadanya mengenai hal itu, saya menerima tanggung jawab menjadi Menteri Pertanian untuk melayani selama tidak kurang dari dua tahun—jika dia menginginkan saya selama itu.”63

Segera setelah menerima jabatan tersebut, Penatua Benson menyertai Presiden Terpilih Eisenhower dalam konferensi pers, di mana pengangkatannya diumumkan kepada negara. Segera setelah konferensi berakhir, dia kembali ke hotelnya. Dia menelepon Flora dan mengatakan kepadanya bahwa Presiden Terpilih Eisenhower telah meminta dia untuk melayani negara dan bahwa dia telah menerima permintaan tersebut.

Dia menjawab, “Saya tahu dia akan menawarkannya. Dan saya tahu kamu akan menerimanya.”

Dia menjelaskan, “Itu akan berarti tanggung jawab yang berat—dan banyak masalah besar bagi kita berdua.”

“Saya tahu itu,” dia berkata, “tetapi tampaknya ini adalah kehendak Allah.”64

Gambar
President Ezra Taft Benson being sworn in as the Secretary of Agriculture

Penatua Benson sedang disumpah sebagai Menteri Pertanian Amerika Serikat oleh Ketua Mahkamah Agung Fred M. Vinson, bersama Presiden Dwight D. Eisenhower melihat

Sebagaimana yang telah diantisipasi oleh Penatua Benson, pelayanannya sebagai Menteri Pertanian adalah pengalaman yang menimbulkan kekacauan bagi dia dan keluarganya. Tetapi dia berketetapan bahwa dia tidak berusaha untuk “memenangi kontes popularitas”—bahwa dia hanya ingin “berkontribusi dalam bidang pertanian dan melayani Amerika”65—dan dia mengikuti ikrar pribadi ini: “Ini adalah strategi yang baik untuk membela apa yang benar, bahkan meskipun tidak populer. Mungkin saya seharusnya mengatakan itu, terutama sekali ketika itu tidak populer.”66 Beruntunglah baginya bahwa dia tidak peduli dengan kepopuleran; sementara dia tetap kuat dan setia pada keyakinannya, popularitasnya di antara para politisi dan warga negara berubah-ubah secara drastis. Terkadang, orang-orang menginginkan dia disingkirkan dari jabatannya sebagai Menteri Pertanian.67 Di lain waktu, orang-orang menyarankan bahwa dia akan merupakan pilihan yang baik untuk menjadi wakil presiden Amerika Serikat.68

Bahkan dalam perannya sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Penatua Benson terbuka mengenai kepercayaannya sebagai orang Kristen, kesaksiannya mengenai Injil yang dipulihkan, dan pengabdiannya terhadap Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir. Di mana pun dia memimpin pertemuan bersama rekan-rekannya dalam Departemen Pertanian, pertemuan diawali dengan doa.69 Dia mengirimkan kepada Presiden Eisenhower kutipan-kutipan dari Kitab Mormon yang menubuatkan mengenai tujuan Amerika Serikat, dan presiden kemudian mengatakan bahwa dia telah membacanya “dengan ketertarikan yang sangat besar.”70 Dia juga memberikan berjilid-jilid Kitab Mormon kepada banyak pemimpin dunia lainnya.71 Pada tahun 1954, Edward R. Murrow, seorang wartawan berita televisi terkemuka di Amerika Serikat, meminta izin kepada Penatua Benson untuk menampilkan keluarga Benson dalam sebuah program Jumat malam yang disebut “Orang ke Orang.” Penatua dan Sister Benson pada awalnya menolak, tetapi mereka kemudian setuju setelah mendengarkan pendapat putra mereka Reed, yang melihat undangan tersebut sebagai kesempatan misionaris yang besar. Pada tanggal 24 September 1954, orang-orang di seluruh negeri menyaksikan kegiatan malam keluarga secara langsung, tanpa dilatih terlebih dahulu di rumah keluarga Benson. Tn. Murrow menerima lebih banyak surat penggemar sebagai hasil dari program tersebut daripada yang telah dia terima dari episode-episode sebelumnya atas program tersebut. Orang-orang dari segala penjuru negeri dan dari berbagai latar belakang agama menulis ucapan terima kasih kepada keluarga Benson atas teladan luar biasa mereka.72

Penatua Benson melayani sebagai Menteri Pertanian selama delapan tahun, keseluruhan masa jabatan Presiden Eisenhower memimpin Amerika Serikat. Presiden McKay mengatakan bahwa pekerjaan Penatua Benson akan “dilestarikan dalam sejarah sebagai kehormatan bagi Gereja dan negara.”73 Penatua Benson menengok ke belakang pada tahun-tahun ketika berada dalam sorotan nasional dan berkata, “Saya mencintai negara yang hebat ini. Sungguh merupakan kehormatan dapat melayaninya.”74 Dia juga mengatakan, “Seandainya saya harus melakukannya lagi, saya tetap akan mengikuti jalur yang sama.”75 Melihat ke depan untuk melanjutkan pelayanannya sebagai Rasul, dia berkata, “Sekarang [saya] mengabdikan waktu saya untuk satu-satunya hal yang lebih saya sukai daripada pertanian.”76

Walaupun pelayanan kepemerintahan Penatua Benson berakhir tahun 1961, kecintaannya terhadap negerinya dan asas kebebasan berlanjut. Dalam banyak ceramah konferensi umumnya, dia memfokuskan pada topik-topik ini. Dia merujuk Amerika Serikat sebagai “sebuah negeri yang saya cintai dengan segenap hati saya.”77 Dia juga mengatakan, “Saya menghormati patriotisme dan kecintaan terhadap negeri di semua negara.”78 Sementara dia menasihati semua Orang Suci Zaman Akhir untuk mencintai negara-negara mereka, dia mengajarkan: “Patriotisme adalah lebih dari sekadar mengibarkan bendera dan mengucapkan kata-kata yang berani. Patriotisme adalah bagaimana kita menanggapi terhadap isu-isu publik. Marilah kita mengabdikan kembali diri kita sebagai patriot dalam arti yang sesungguhnya.”79 “Tidak seperti oportunis politik, negarawan sejati menghormati asas ini melebihi popularitas dan bekerja untuk menciptakan popularitas untuk asas-asas politik tersebut yang adalah bijaksana dan adil.”80

Saksi Khusus bagi Nama Kristus

Sebagai Rasul Tuhan Yesus Kristus, Penatua Ezra Taft Benson mematuhi perintah “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15) dan untuk “membuka pintu melalui pemakluman Injil Yesus Kristus” (A&P 107:35). Dia melayani di banyak bagian di dunia, mengadakan perjalanan keliling misi dan mengajar orang-orang.

Dia menghormati kesempatan istimewa bertemu dengan para Orang Suci Zaman Akhir. Dalam sebuah ceramah konferensi umum, dia mengatakan, “Terkadang saya mengatakan kepada istri saya, saat saya kembali dari kunjungan di pasak-pasak, bahwa saya tidak tahu persis seperti apa nantinya surga itu, tetapi saya tidak bisa meminta hal apa pun yang lebih baik di sana selain merasakan kegembiraan dan sukacita berada bersama pria dan wanita yang saya jumpai sebagai pemimpin pasak-pasak dan lingkungan-lingkungan Sion dan misi-misi di bumi. Sesungguhnya kita sangat diberkati.”81 Dalam ceramah lainnya dia berkata, “Terdapat perasaan persaudaraan dan penemanan sejati di Gereja. Perasaan itu sangat kuat, sedikit tidak berbentuk, tetapi sangat nyata. Saya merasakannya, seperti halnya yang dirasakan oleh rekan-rekan saya, sewaktu kami mengadakan perjalanan di seluruh pasak dan lingkungan-lingkungan Sion dan di seluruh misi di bumi .… Perasaan penemanan dan persaudaraan itu selalu ada. Perasaan itu merupakan salah satu yang indah berkenaan dengan keanggotaan dalam Gereja dan kerajaan-Nya.”82

Penatua Benson juga senang membagikan kesaksiannya tentang Juruselamat kepada orang-orang dari kepercayaan lain. Misalnya, pada tahun 1959 dia pergi bersama Sister Benson dan empat anggota dari Departemen Pertanian Amerika Serikat untuk mengadakan perjalanan keliling di tujuh negara, termasuk Uni Soviet. Walaupun dia berada di sana karena jabatannya sebagai Menteri Pertanian, kesaksian kerasulannya menyentuh hati banyak orang. Dia menceritakan:

“Dalam perjalanan ke bandara, malam terakhir [kami] di Moskwa, saya menyatakan … kepada salah satu dari pemandu kami kekecewaan saya karena kami tidak memiliki kesempatan untuk mengunjungi gereja di Rusia. Dia mengucapkan beberapa kata kepada supir, mobil langsung berbalik arah di tengah jalan raya dan kami akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan tua di jalan berbatu yang gelap dan sempit tidak jauh dari Lapangan Merah. Ini adalah Gereja Baptis Pusat.

Waktu itu hujan di malam bulan Oktober yang tidak menyenangkan disertai dengan cuaca yang sangat dingin di udara. Tetapi ketika kami masuk ke dalam gereja, kami mendapati gereja itu penuh; ada yang berdiri di aula, di pintu masuk, bahkan di jalan. Kami diberi tahu bahwa setiap Minggu, Selasa, dan Kamis, kondisi serupa terjadi di mana banyak jemaat datang ke gereja.

Saya melihat ke wajah orang-orang. Banyak di antara mereka berusia paruh baya ke atas tetapi yang cukup mengejutkan ada pula sejumlah orang muda. Kira-kira empat dari setiap lima orang adalah wanita, kebanyakan dari mereka memakai syal di sekeliling kepala mereka. Kami diantar masuk ke sebuah tempat di samping mimbar .…

Pendeta mengucapkan beberapa kata, dan kemudian organ mengiringi dengan beberapa nada dan mulai dengan nyanyian pujian yang diikuti oleh seluruh jemaat. Mendengar sekitar seribu hingga 1500 suara yang menyanyi bersama di sana menjadi salah satu pengalaman paling mengesankan dalam seluruh kehidupan saya. Dengan keyakinan bersama sebagai orang-orang Kristen, mereka mengulurkan tangan kepada kami dengan pesan selamat datang yang menjembatani semua perbedaan bahasa, pemerintah, sejarah. Dan sewaktu saya mencoba untuk memperoleh keseimbangan di bawah pengaruh yang penuh emosi ini, pendeta meminta saya, melalui seorang juru bahasa yang berdiri di sana, untuk berbicara kepada jemaat.

Diperlukan waktu beberapa saat untuk berusaha mengendalikan perasaan saya sebelum saya setuju. Lalu saya berkata, sebagian, ‘Sungguh baik sekali Anda meminta saya untuk menyapa Anda.

Saya membawa salam dari jutaan jemaat gereja di Amerika dan di seluruh dunia.’ Dan tiba-tiba itu merupakan hal yang paling alami di dunia untuk berbicara kepada rekan sesama Kristen ini mengenai kebenaran-kebenaran sakral yang diketahui manusia.

Bapa Surgawi kita tidak berada jauh. Dia bisa menjadi sangat dekat dengan kita. Allah hidup, saya tahu bahwa Dia hidup. Dia adalah Bapa kita. Yesus Kristus, Penebus Dunia, mengawasi bumi ini. Dia akan mengarahkan segala sesuatu. Jangan takut, patuhilah perintah-perintah-Nya, kasihilah sesama manusia, berdoalah untuk perdamaian dan semuanya akan baik-baik saja.’

Saat setiap kalimat diterjemahkan untuk jemaat, saya melihat para wanita mengambil sapu tangan mereka dan seperti yang dikatakan oleh seorang pengamat mereka mulai ‘melambai-lambaikan sapu tangan tersebut seperti seorang ibu mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya kepada putra satu-satunya.’ Mereka mengangguk-anggukkan kepala dengan penuh semangat diikuti dengan ucapan ja, ja, ja! (ya, ya, ya!). Lalu saya memerhatikan untuk pertama kalinya bahwa bahkan galeri dipenuhi dengan banyak orang yang berdiri dengan bersandar di dinding. Saya melihat ke bawah pada seorang wanita tua di depan saya, kepalanya ditutupi dengan syal polos usang, yang dilingkarkan di sekeliling bahunya, wajahnya yang sudah tua dan keriput terlihat tenteram karena iman. Saya berbicara langsung kepadanya.

‘Hidup ini hanya sebagian dari kekekalan. Kita pernah hidup sebelum kita datang ke bumi sebagai anak-anak rohani Allah. Kita akan hidup kembali setelah kita meninggalkan kehidupan ini. Kristus telah mematahkan belenggu kematian dan dibangkitkan. Kita semua akan dibangkitkan.

‘Saya sangat percaya dengan doa. Saya tahu adalah dimungkinkan untuk mengulurkan tangan dan menyentuh Kuasa yang Tak Terlihat itu yang memberi kita kekuatan dan sauh seperti itu pada saat dibutuhkan.’ Dengan setiap kalimat yang saya ucapkan, kepala wanita tua tersebut mengangguk sebagai tanda setuju. Dan walaupun tua, lemah, keriput, wanita itu luar biasa dalam pengabdiannya.

Saya tidak ingat semua yang saya katakan, tetapi saya ingat merasa dikuatkan, diilhami oleh wajah-wajah yang penuh perhatian dari para pria dan wanita ini yang begitu tabah dalam membuktikan iman mereka kepada Allah yang mereka layani dan kasihi.

Sebagai penutup saya berkata, ‘Saya tinggalkan kesaksian saya kepada Anda sebagai hamba Gereja selama bertahun-tahun bahwa kebenaran akan bertahan. Waktu berpihak pada kebenaran. Semoga Allah memberkati Anda dan menjaga Anda di sepanjang hari dalam kehidupan Anda, inilah doa saya dalam nama Yesus Kristus, Amin.’

Dengan pernyataan itu saya mengakhiri ceramah yang tidak terencana ini, karena saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dan duduk. Seluruh jemaat kemudian bersatu dalam sebuah nyanyian pujian favorit masa kanak-anak saya, ‘Harap Allah Sertamu S’lalu.’ Kami meninggalkan gereja sementara mereka bernyanyi dan sewaktu kami berjalan di lorong, mereka melambai-lambaikan sapu tangan sebagai tanda selamat berpisah—tampaknya seluruh 1.500 jemaat melambaikan sapu tangan mereka kepada kami saat kami pergi.

Saya telah memiliki kesempatan istimewa untuk berbicara di hadapan banyak jemaat gereja di seluruh bagian di dunia, tetapi dampak dari pengalaman tersebut hampir tidak bisa dilukiskan. Saya tidak akan pernah melupakan malam itu sepanjang saya masih hidup.

Jarang, kalaupun ada, saya merasakan adanya kesatuan umat manusia dan kerinduan yang tak terpadamkan dari hati manusia terhadap kebebasan yang begitu kuat seperti yang saya lakukan saat itu .…

Saya pulang [ke rumah] dengan tekad akan sering menceritakan kisah ini—karena itu menunjukkan bagaimana perasaan kebebasan, perasaan persaudaraan, dan perasaan keagamaan hidup terus meskipun segala upaya untuk menghancurkannya.”83

Presiden Kuorum Dua Belas Rasul

Pada tanggal 26 Desember 1973, Penatua Benson menerima berita yang tak terduga bahwa Presiden Gereja, President Harold B. Lee, telah meninggal secara mendadak. Dengan meninggalnya Presiden Lee, para penasihat dalam Presidensi Utama mengambil alih tempat mereka dalam Kuorum Dua Belas Rasul. Empat hari kemudian, Spencer W. Kimball ditetapkan sebagai Presiden Gereja, dan Ezra Taft Benson ditetapkan sebagai Presiden Kuorum Dua Belas Rasul. Dengan tanggung jawab ini, Presiden Benson mengemban tugas-tugas administratif tambahan. Dia memimpin pertemuan kuorum mingguan dan mengoordinasikan pekerjaan para pemimpin utama, termasuk penugasan mereka untuk memimpin konferensi-konferensi pasak dan tur-tur misi dan untuk memanggil bapa bangsa pasak. Dia juga memiliki beberapa tanggung jawab kepenyeliaan terhadap Pembesar Umum lainnya. Seorang staf administratif mengurus tugas-tugas administrasi untuk membantu dia dan para pemimpin utama mengorganisasi pekerjaan.84

Dalam sebuah pertemuan dengan Kuorum Dua Belas Rasul, Presiden Benson membagikan pemikiran ini mengenai melayani sebagai Presiden mereka: “Saya memiliki kecemasan yang sangat besar mengenai tanggung jawab besar ini—bukan perasaan takut, karena saya tahu kita tidak bisa gagal dalam pekerjaan ini … jika kita melakukan yang terbaik. Saya tahu Tuhan akan mendukung kita, tetapi saya sangat khawatir ketika dipanggil untuk memimpin sebuah dewan yang beranggotakan orang-orang seperti Anda—para saksi khusus Tuhan Yesus Kristus.”85

Presiden Benson menggabungkan kerendahan hati ini dengan karakteristik keberanian dan kegigihan dalam bekerja keras. Dia sering mendelegasikan tanggung jawab kepada orang lain sehingga mereka memiliki kesempatan untuk melayani. Dia mengharapkan yang terbaik dari mereka yang dia pimpin, sama seperti dia mengharapkan yang terbaik dari dirinya sendiri. Tetapi walaupun dia menuntut, dia baik hati. Dia mendengarkan pendapat-pendapat para pemimpin utama yang dipimpinnya, mendorong pembahasan terbuka dalam pertemuan-pertemuan kuorum. Penatua Boyd K. Packer, Russell M. Nelson, dan Dallin H. Oaks, yang merupakan anggota junior dalam Kuorum Dua Belas Rasul di bawah kepemimpinannya, mengatakan bahwa dia selalu mendorong mereka untuk membagikan pendapat mereka, bahkan meskipun pendapat mereka berbeda dari pendapatnya.86

Para anggota Kuorum Dua Belas Rasul belajar bahwa kepemimpinan Presiden Benson adalah dilandaskan pada asas-asas yang tidak berubah. Misalnya, dia berulang kali mengatakan, “Ingatlah, Brother sekalian, dalam pekerjaan ini yang penting adalah Roh.”87 Dan dia memiliki satu standar yang dengan standar ini dia mengukur semua keputusan kuorum: dia bertanya, “Apa yang terbaik bagi Kerajaan?” Penatua Mark E. Petersen, yang melayani bersamanya dalam Kuorum Dua Belas, mengatakan, “Jawaban terhadap pertanyaan itu menjadi faktor penentu dalam setiap masalah penting yang dihadapi Presiden Ezra Taft Benson sepanjang kehidupannya.”88

Presiden Gereja

Presiden Spencer W. Kimball meninggal pada tanggal 5 November 1985, setelah menderita penyakit yang lama. Kepemimpinan Gereja sekarang berada di tangan Kuorum Dua Belas Rasul, dengan Presiden Ezra Taft Benson sebagai Presiden dan anggota senior mereka. Lima hari kemudian, dalam sebuah pertemuan yang kudus dan khidmat Kuorum Dua Belas di Bait Suci Salt Lake, Presiden Benson ditetapkan sebagai Presiden Gereja. Dia terilhami untuk meminta Presiden Gordon B. Hinckley untuk melayani sebagai Penasihat Pertamanya dalam Presidensi Utama dan meminta Presiden Thomas S. Monson untuk melayani sebagai Penasihat Keduanya.

Gambar
Portrait of President Ezra Taft Benson, President Gordon B. Hinckley, and President Thomas S. Monson

Presiden Ezra Taft Benson bersama penasihatnya dalam Presidensi Utama: Presiden Gordon B. Hinckley (kiri) dan Presiden Thomas S. Monson (kanan)

Presiden Benson telah mengetahui kesehatan genting Presiden Kimball, dan dia berharap agar kekuatan fisik temannya akan membaik. “Ini adalah situasi yang belum saya antisipasi,” Presiden Benson memberitahukannya dalam konferensi pers tidak lama setelah dia ditetapkan sebagai Presiden Gereja. “Istri saya, Flora, dan saya telah berdoa terus-menerus agar usia Presiden Kimball akan diperpanjang di bumi ini, dan mukjizat lain terjadi untuk dia. Sekarang bahwa Tuhan telah berbicara, kita akan melakukan yang terbaik, di bawah arahan bimbingan-Nya, untuk memajukan pekerjaan di bumi.”89

Dalam konferensi umum pertamanya sebagai Presiden Gereja, Presiden Benson membagikan apa yang akan menjadi penekanan utamanya untuk memajukan pekerjaan Tuhan. “Di zaman kita,” dia menyatakan, “Tuhan telah mengungkapkan perlunya menekankan kembali Kitab Mormon.”90

Sebagai anggota Kuorum Dua Belas, Presiden Benson telah berulang kali mengkhotbahkan mengenai pentingnya Kitab Mormon.91 Sebagai Presiden Gereja, dia memberikan perhatian yang bahkan lebih besar lagi terhadap hal ini. Dia menyatakan bahwa “seluruh Gereja [berada] di bawah penghukuman” karena Orang Suci Zaman Akhir tidak menelaah Kitab Mormon secara memadai atau tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap ajaran-ajarannya. Dia berkata, “Kitab Mormon dahulu tidak menjadi, demikian pula sekarang belum menjadi, pusat penelahaan pribadi, pengajaran keluarga, pengkhotbahan, pekerjaan misionaris kita. Mengenai hal ini kita harus bertobat.”92 Dia sering mengutip pernyataan Nabi Joseph Smith bahwa orang “akan menjadi lebih dekat kepada Allah dengan mematuhi ajaran-ajarannya, daripada dengan kitab lain apa pun,”93 dan dia menjelaskan secara terperinci mengenai janji itu. “Ada kuasa dalam kitab itu,” dia berkata, “yang akan mulai mengalir ke dalam hidup Anda pada saat Anda memulai suatu penelaahan yang serius terhadap kitab tersebut.”94 Dia mendorong para Orang Suci untuk “mengisi bumi dan kehidupan [mereka] dengan Kitab Mormon.”95

Di seluruh dunia, Orang Suci Zaman Akhir mengindahkan nasihat ini dari nabi mereka. Akibatnya, mereka diperkuat, secara perorangan dan kelompok.96 Presiden Howard W. Hunter mengatakan: “Akankah setiap angkatan, termasuk mereka yang belum dilahirkan, menengok ke belakang pada pelayanan Presiden Ezra Taft Benson dan tidak segera memikirkan mengenai kecintaannya terhadap Kitab Mormon? Mungkin tidak ada Presiden Gereja mana pun sejak Nabi Joseph Smith sendiri telah melakukan lebih banyak untuk mengajarkan kebenaran Kitab Mormon, untuk menjadikannya sebagai kursus penelahaan setiap hari bagi seluruh anggota Gereja, dan untuk ‘mengisi bumi’ dengan pendistribusiannya.”97

Terkait erat dengan kesaksian Presiden Benson mengenai Kitab Mormon adalah kesaksian mengenai Yesus Kristus. Pada saat ketika banyak orang menolak “keilahian Juruselamat,” dia menegaskan bahwa “kitab yang diilhami ilahi ini adalah batu kunci dalam memberikan kesaksian kepada dunia bahwa Yesus adalah Kristus.”98 Sejak penahbisannya pada Kerasulan tahun 1943, Presiden Benson telah melayani dengan tekun sebagai saksi akan kenyataan hidup Juruselamat. Sebagai Presiden Gereja, dia memberikan kesaksian mengenai Yesus Kristus dan Pendamaian-Nya dengan bersemangat dan pada tingkat yang mendesak. Dia mengimbau para Orang Suci untuk “dipimpin oleh Kristus” dan “menjadi bagian dari Kristus,”99 untuk “menjalankan kehidupan yang terpusat pada Kristus.”100 Berbicara mengenai Juruselamat, dia berkata, “Dengan segenap jiwa saya, saya mengasihi Dia.”101

Presiden Benson juga mengajarkan topik-topik lain pada tingkat yang mendesak dan dengan kuasa. Dia memperingatkan mengenai bahaya kesombongan. Dia bersaksi mengenai makna kekal keluarga. Dia mengajarkan asas-asas iman dan pertobatan dan menekankan perlunya pekerjaan misionaris yang didedikasikan.

Walaupun dia tidak berbicara mengenai Amerika Serikat sesering seperti yang telah dia lakukan sebelumnya dalam pelayanannya, dia merayakan ulang tahun ke-200 penandatanganan Undang-Undang Amerika Serikat dengan berbicara mengenai hal tersebut dalam konferensi umum Gereja bulan Oktober 1987. Dan dia terus mencintai kebebasan dan patriotisme sejati di seluruh dunia. Pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, dia bersukacita mendengar berita bahwa Tembok Berlin telah runtuh dan bahwa rakyat di Rusia dan Eropa Timur menerima kebebasan yang lebih besar, di mana pemerintah-pemerintah menjadi lebih terbuka terhadap peribadatan keagamaan.102

Presiden Benson memberikan serangkaian ceramah kepada kelompok-kelompok tertentu anggota Gereja. Dimulai bulan April 1986, dia mempersiapkan khotbah yang ditujukan bagi para remaja putra, remaja putri, para ibu, pengajar ke rumah, para ayah, pria dewasa lajang, dan wanita dewasa lajang, anak-anak, dan orang lanjut usia. Presiden Howard W. Hunter mengatakan: “Dia berbicara kepada semua orang dan memiliki kepedulian terhadap semua orang. Dia berbicara kepada para wanita Gereja dan kepada para pria. Dia berbicara kepada para lanjut usia. Dia berbicara kepada mereka yang lajang, kepada mereka dalam usia remaja mereka, dan dia senang berbicara kepada anak-anak di Gereja. Dia memberikan nasihat pribadi yang luar biasa kepada seluruh anggota, apa pun kondisi pribadi mereka. Khotbah-khotbah tersebut akan terus mendukung kita dan membimbing kita sewaktu kita memikirkannya selama bertahun-tahun yang akan datang.”103

Presiden Benson menangis ketika dia menerima surat dari sebuah keluarga yang telah terpengaruh oleh salah satu dari ceramah-ceramah ini. Dalam surat tersebut, seorang ayah muda menjelaskan bahwa dia dan istrinya telah menonton konferensi umum melalui televisi. Putra mereka yang berusia tiga tahun sedang bermain di ruang sebelah, di mana konferensi disiarkan melalui radio. Setelah mendengar pesan Presiden Benson kepada anak-anak, ibu dan ayah tersebut masuk ke dalam ruangan di mana anaknya sedang bermain. Anak lelaki kecil tersebut “melaporkan dengan bersemangat, ‘Pria di radio itu mengatakan bahwa bahkan ketika kita membuat kesalahan, Bapa Surgawi kita masih mengasihi kita.’ Pernyataan sederhana itu,” sang ayah berkata, “telah meninggalkan kesan yang membekas dan bermakna pada putra kami yang masih kecil. Saya masih dapat menanyakan kepadanya sekarang apa yang telah Presiden Benson katakan dan menerima jawaban bersemangat yang sama. Dia merasa terhibur mengetahui bahwa dia memiliki Bapa di Surga yang baik hati dan penuh kasih.”104

Tidak lama setelah konferensi umum Oktober 1988, Presiden Benson mengalami stroke yang tidak memungkinkan baginya untuk berbicara di depan umum. Dia menghadiri konferensi-konferensi umum dan perkumpulan-perkumpulan publik lainnya untuk beberapa waktu. Dalam konferensi-konferensi tahun 1989, para penasihatnya membacakan khotbah-khotbah yang telah dia persiapkan. Mulai tahun 1990, para penasihatnya menyampaikan kasihnya kepada para Orang Suci dan mengutip dari khotbah-khotbahnya di masa lampau. Konferensi bulan April 1991 merupakan konferensi terakhir yang dia hadiri. Sejak saat itu hingga seterusnya, secara fisik dia tidak mampu berbuat lebih banyak lagi selain menonton sesi-sesi konferensi di televisi.105

Presiden Gordon B. Hinckley mengenang: “Seperti yang mungkin telah diantisipasi, tubuhnya mulai lemah karena usia. Dia tidak dapat berjalan seperti yang sebelumnya. Dia tidak dapat berbicara seperti sebelumnya. Telah terjadi penurunan kesehatan secara perlahan, tetapi dia masih merupakan nabi yang dipilih Tuhan sepanjang dia masih hidup.”106 Presiden Hinckley dan Presiden Thomas S. Monson membimbing Gereja dengan wewenang dari Presiden Benson yang didelegasikan kepada mereka, tetapi Gereja tidak pernah menjalankan inisiatif-inisiatif baru tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Presiden Benson.107

Sementara kondisi fisik Presiden Benson semakin lemah, kesehatan Flora juga menjadi lemah, dan dia meninggal pada tanggal 14 Agustus 1992. Kurang dari dua tahun kemudian, pada tanggal 30 Mei 1994, dia juga meninggal, dan tubuh fananya dimakamkan di sebelah makam istrinya di Whitney yang mereka cintai. Saat pemakaman Presiden Benson, Presiden Monson mengenang: “Dia berkata kepada saya dalam suatu kesempatan, ‘Brother Monson, ingatlah, terlepas apa pun yang mungkin disarankan oleh orang lain, saya berhasrat untuk dimakamkan di Whitney, Idaho.’ Presiden Benson, kami memenuhi keinginan tersebut hari ini. Jenazahnya akan pulang ke Whitney, tetapi roh kekalnya telah pergi ke rumah Bapa. Tidak diragukan lagi dia bersukacita dengan keluarganya, teman-temannya, dan istrinya yang terkasih Flora .…

Anak pembajak ladang yang menjadi nabi Allah telah berpulang. Kita bersyukur memiliki kenangannya.”108

Catatan

  1. Robert D Hales, “A Testimony of Prophets,” Juni 5, 1994, speeches.byu.edu; lihat juga Twila Van Leer, “Church Leader Buried beside Wife, Cache Pays Tribute as Cortege Passes,” Deseret News, Juni 5, 1994.

  2. Gordon B. Hinckley, “Farewell to a Prophet,” Ensign, Juli 1994, 37–38.

  3. Ezra Taft Benson, “Godly Characteristics of the Master,” Ensign, November 1986, 46.

  4. Margaret Benson Keller, dalam Sheri L. Dew, Ezra Taft Benson: A Biography (1987), 34.

  5. Ezra Taft Benson, “Godly Characteristics of the Master,” 47–48.

  6. Ezra Taft Benson, “Scouting Builds Men,” New Era, Februari 1975, 15–16.

  7. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 44.

  8. Lihat “After 60 Years ‘Still in Love,’” Church News, September 14, 1986, 4, 10.

  9. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 58.

  10. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 55; lihat juga bab 7 dalam buku ini.

  11. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 59.

  12. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 59.

  13. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 62.

  14. Sheri L. Dew, Ezra Taft Benson: A Biography 59.

  15. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 53.

  16. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 63.

  17. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 75.

  18. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 79.

  19. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 79.

  20. Eugene J. Neff, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 84.

  21. Eugene J. Neff, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 87.

  22. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 87.

  23. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 87.

  24. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 96.

  25. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 88.

  26. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 89.

  27. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 92.

  28. Francis M. Gibbons, Ezra Taft Benson: Statesman, Patriot, Prophet of God(1996), 85–89.

  29. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 99–100, 101, 115.

  30. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 115.

  31. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 100.

  32. Barbara Benson Walker, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 130.

  33. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 121.

  34. Flora Amussen Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 121.

  35. Sheri L. Dew, Ezra Taft Benson: A Biography, 174; termasuk kutipan-kutipan dari Ezra Taft Benson, jurnal pribadi, Juli 26, 1943.

  36. Ezra Taft Benson, jurnal pribadi, Juli 26, 1943; dikutip dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 174–175; ejaan distandarkan.

  37. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 176.

  38. Lihat Ezra Taft Benson, A Labor of Love: The 1946 European Mission of Ezra Taft Benson (1989), 7.

  39. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 152–153.

  40. George Albert Smith, dalam A Labor of Love, 7.

  41. Ezra Taft Benson, A Labor of Love, 7–8.

  42. Ezra Taft Benson, A Labor of Love, 120.

  43. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 154.

  44. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 155.

  45. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 153–155.

  46. Lihat Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 155–156.

  47. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 156.

  48. Lihat Frederick W. Babbel, On Wings of Faith (1972), 28–33, 46–47, 106–108, 111–112, 122, 131–134, 136, 154.

  49. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1947, 152.

  50. Thomas S. Monson, “President Ezra Taft Benson—A Giant among Men,” Ensign, Juli 1994, 36.

  51. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 37.

  52. Lihat Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1948, 83.

  53. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1948, 86.

  54. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1962, 104.

  55. Lihat Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1948, 85.

  56. Lihat Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1962, 104–105.

  57. Lihat Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, Oktober 1954, 121.

  58. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, Oktober 1962, 19.

  59. Ezra Taft Benson, Cross Fire: The Eight Years with Eisenhower (1962), 3–4.

  60. David O. McKay, dalam Cross Fire, 5.

  61. Ezra Taft Benson, Cross Fire, 10.

  62. Dwight D. Eisenhower, alam Cross Fire, 12.

  63. Ezra Taft Benson, Cross Fire, 12.

  64. Ezra Taft Benson, Cross Fire, 13.

  65. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 355.

  66. Ezra Taft Benson, dalam Sheri Dew, “President Ezra Taft Benson: Confidence in the Lord,” New Era, Agustus 1989, 36.

  67. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 313, 345.

  68. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 331.

  69. Lihat bab 2 dalam buku ini.

  70. Dwight D. Eisenhower, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 292.

  71. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 292.

  72. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 297–299.

  73. David O. McKay, dalam Cross Fire, 519.

  74. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1961, 113.

  75. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 358.

  76. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 355.

  77. Ezra Taft Benson, “A Witness and a Warning,” Ensign, November 1979, 31.

  78. Ezra Taft Benson, “The Constitution—A Glorious Standard, Ensign, Mei 1976, 91.

  79. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, April 1960, 99.

  80. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, Oktober 1968, 17.

  81. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, Oktober 1948, 98.

  82. Ezra Taft Benson, dalam Conference Report, Oktober. 1950, 143–144.

  83. Ezra Taft Benson, Cross Fire, 485–488.

  84. Lihat Francis M. Gibbons, Statesman, Patriot, Prophet of God, 270–271.

  85. Ezra Taft Benson, dalam Ezra Taft Benson: A Biography, 430–431.

  86. Lihat Ezra Taft Benson: A Biography, 429–430.

  87. Ezra Taft Benson, dalam Thomas S. Monson, “A Provident Plan—A Precious Promise,” Ensign, Mei 1986, 63.

  88. Mark E. Petersen, “President Ezra Taft Benson,” Ensign, Januari 1986, 2–3.

  89. Ezra Taft Benson, dalam Church News, November 17, 1985, 3.

  90. Ezra Taft Benson, “A Sacred Responsibility,” Ensign, Mei 1986, 78.

  91. Lihat, untuk contoh, “The Book of Mormon Is the Word of God,” Ensign, Mei 1975, 63–65; “A New Witness for Christ,” Ensign, November 1984, 6–8; lihat juga Ezra Taft Benson: A Biography, 491–493.

  92. Ezra Taft Benson, “Cleansing the Inner Vessel,” Ensign, Mei 1986, 5–6.

  93. Joseph Smith, dikutip dalam pengantar untuk Kitab Mormon.

  94. Ezra Taft Benson, “The Book of Mormon—Keystone of Our Religion,” Ensign, November 1986, 7.

  95. Ezra Taft Benson, “Beware of Pride,” Ensign, Mei 1989, 4.

  96. Lihat bab 10 dalam buku ini.

  97. Howard W. Hunter, “A Strong and Mighty Man,” Ensign, Juli 1994, 42.

  98. Ezra Taft Benson, “The Book of Mormon—Keystone of Our Religion,” 4, 5.

  99. Ezra Taft Benson, “Born of God,” Ensign, Juli 1989, 4.

  100. Ezra Taft Benson, “Come unto Christ,” Ensign, November 1987, 84.

  101. Ezra Taft Benson, “Jesus Christ: Our Savior and Redeemer,” Ensign, Juni 1990, 6.

  102. Lihat Russell M. Nelson, “Drama on the European Stage,” Ensign, Desember 1991, 16.

  103. Howard W. Hunter, “A Strong and Mighty Man,” 42.

  104. Thomas S. Monson, “The Lord Bless You,” Ensign, November 1991, 87.

  105. Lihat Francis M. Gibbons, Statesman, Patriot, Prophet of God, 315.

  106. Gordon B. Hinckley, “Farewell to a Prophet,” 40.

  107. Lihat Francis M. Gibbons, Statesman, Patriot, Prophet of God, 317–318.

  108. Thomas S. Monson, “President Ezra Taft Benson—A Giant among Men,” Ensign, Juli 1994, 36.