2008
Meminta dalam Iman
Mei 2007


Meminta dalam Iman

Doa yang bermakna memerlukan komunikasi yang kudus dan kerja yang dikuduskan.

Gambar
Elder David A. Bednar

Saya mengundang Roh Kudus untuk membantu saya sewaktu kita memikirkan sebuah asas yang dapat membantu doa-doa kita menjadi lebih bermakna—asas Injil meminta dalam iman.

Saya ingin mengkaji tiga contoh dari meminta dalam iman dalam doa yang bermakna serta membahas pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik dari setiap contoh itu. Sewaktu kita berbicara mengenai doa, saya menekankan kata bermakna. Sekadar mengucapkan doa adalah hal yang agak berbeda dengan terlibat dalam doa yang sungguh-sungguh. Saya berharap bahwa kita semua sudah mengetahui bahwa doa penting bagi pertumbuhan dan perlindungan rohani kita. Namun apa yang kita ketahui tidak selalu tercermin dalam apa yang kita lakukan. Dan meskipun kita mengenali pentingnya doa, kita semua dapat meningkatkan konsistensi dan keefektifan doa-doa pribadi dan keluarga kita.

Meminta dalam Iman dan Bertindak

Contoh klasik dari meminta dalam doa adalah Joseph Smith dan Penglihatan Pertama. Sewaktu Joseph muda berusaha untuk mengetahui kebenaran mengenai agama, dia membaca dari ayat-ayat berikut dalam pasal pertama Kitab Yakobus:

“Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah,—yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya.

Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang” (Yakobus 1:5–6).

Mohon perhatikan persyaratan untuk meminta dalam iman, yang saya pahami artinya penting untuk bukan saja mengungkapkan namun melakukan, kewajiban ganda baik untuk memohon maupun melaksanakan, persyaratan untuk berkomunikasi dan bertindak.

Dengan memikirkan teks Alkitab ini menuntun Joseph untuk pergi ke hutan dekat rumahnya untuk berdoa serta mencari pengetahuan rohani. Perhatikan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing pemikiran dan permohonan Joseph.

“Di tengah-tengah perang lidah serta pertengkaran pendapat ini, aku sering berkata kepada diriku sendiri: Apa yang harus dilakukan? Siapakah di antara golongan ini yang benar, atau apakah mereka itu semuanya salah? Jika salah satu di antara mereka itu benar, yang manakah itu dan bagaimanakah aku dapat mengetahuinya?

Tujuanku pergi menanyakan Tuhan ialah untuk mengetahui yang mana di antara semua sekte itu adalah yang benar, supaya aku dapat mengetahui yang mana harus aku ikuti” (Joseph Smith 2:10, 18).

Pertanyaan Joseph berfokus tidak saja pada apa yang dia perlu ketahui namun juga pada apa yang harus dilakukan! Doanya bukan sekadar, “Gereja mana yang benar?” Pertanyaannya adalah, “Manakah gereja yang hendaknya saya ikuti?” Joseph pergi ke hutan untuk meminta dalam iman, dan dia bertekad untuk bertindak.

Iman yang benar berfokus dalam dan kepada Tuhan Yesus Kristus dan senantiasa menuntun pada tindakan yang benar. Nabi Joseph Smith mengajarkan bahwa “iman [adalah] asas utama dalam agama yang diwahyukan, dan dasar dari segala kebenaran” dan bahwa itu juga adalah “asas tindakan dalam diri semua makhluk yang cerdas” (Lectures on Faith [1985], 1). Tindakan itu sendiri bukanlah iman kepada Juruselamat, namun bertindak sesuai dengan asas-asas yang benar adalah komponen inti dari iman. Oleh karenanya, “iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong” (Yakobus 2:20).

Nabi Joseph lebih jauh menjelaskan bahwa “iman bukan hanya asas tindakan, tetapi juga kuasa, dalam diri semua makhluk cerdas, baik di surga maupun di bumi” (Lectures on Faith, 3). Oleh karenanya, iman kepada Kristus menuntun pada tindakan benar yang meningkatkan kemampuan dan kuasa rohani kita. Memahami bahwa iman adalah asas tindakan dan kuasa mengilhami kita untuk menjalankan hak pilihan moral kita yang selaras dengan kebenaran Injil, mengundang kuasa yang menyelamatkan dan memperkuat dari Kurban Tebusan Juruselamat ke dalam kehidupan kita, dan memperbesar kuasa dalam diri kita dimana kita adalah agen bagi diri sendiri (lihat A&P 58:28).

Saya sudah lama terkesan dengan kebenaran bahwa doa yang bermakna memerlukan komunikasi yang kudus dan kerja yang dikuduskan. Berkat-berkat memerlukan sejumlah upaya di pihak kita sebelum kita dapat memperolehnya, dan doa, “sebagai bentuk kerja, … merupakan alat yang ditetapkan untuk memperoleh semua berkat tertinggi (Bible Dictionary, “Prayer,” 753). Kita maju terus dan bertekun dalam kerja yang dikuduskan bagi doa setelah kita mengucapkan “amin” dengan menindaklanjuti hal-hal yang telah kita nyatakan kepada Bapa Surgawi.

Meminta dalam iman memerlukan kejujuran, upaya, komitmen, dan ketekunan. Izinkan saya memberikan sebuah ilustrasi mengenai apa yang saya maksud dan menyampaikan kepada Anda sebuah ajakan.

Kita secara benar berdoa memohon keselamatan dan keberhasilan bagi misionaris penuh-waktu di seluruh dunia. Dan unsur umum dalam banyak doa kita adalah permohonan agar para misionaris akan dituntun kepada individu-individu dan keluarga-keluarga yang siap untuk menerima pesan Pemulihan. Namun pada akhirnya adalah tanggung jawab saya dan tanggung jawab Anda untuk menemukan orang-orang bagi misionaris untuk diajar. Misionaris penuh-waktu adalah guru; Anda dan saya adalah penemu penuh-waktu. Dan Anda serta saya sebagai misionaris seumur hidup hendaknya tidak berdoa bagi misionaris penuh-waktu untuk melakukan pekerjaan kita!

Jika Anda dan saya benar-benar berdoa dan meminta dalam iman, sebagaimana yang dilakukan Joseph Smith—jika kita mau berdoa dengan pengharapan untuk bertindak dan bukan sekadar menyatakan—maka pekerjaan mengkhotbahkan Injil akan maju terus dalam cara yang luar biasa. Doa dari iman semacam itu dapat mencakup beberapa unsur berikut:

  • Berterima kasih kepada Bapa Surgawi atas ajaran-ajaran dan tata cara-tata cara dari Injil Yesus Kristus yang dipulihkan, yang membawa pengharapan serta kebahagiaan dalam kehidupan kita.

  • Memohon keberanian dan ketegaran untuk membuka mulut serta membagikan Injil kepada keluarga dan teman-teman kita.

  • Memohon kepada Bapa Surgawi untuk membantu kita mengenali individu-individu dan keluarga-keluarga yang mau menerima undangan kita untuk diajar oleh para misionaris di rumah kita.

  • Memohon untuk melakukan bagian kita pada hari ini dan minggu ini—dan memohon bantuan untuk mengatasi kecemasan, ketakutan, dan keraguan.

  • Mencari karunia memperbedakan—bagi mata untuk melihat dan telinga untuk mendengarkan kesempatan- kesempatan misionaris ketika hal itu muncul.

  • Berdoa dengan sungguh-sungguh memohon kekuatan untuk bertindak sewaktu kita tahu kita harus bertindak.

Rasa syukur akan dinyatakan, dan berkat-berkat lain dapat diminta dalam doa semacam itu, yang akan diakhiri dalam nama Juruselamat. Dan kemudian kerja yang dikuduskan dari doa itu akan berlanjut dan meningkat.

Pola yang sama dari komunikasi kudus dan kerja yang dikuduskan ini dapat diterapkan dalam doa-doa kita bagi mereka yang miskin dan yang membutuhkan, bagi yang sakit dan yang menderita, bagi anggota keluarga serta teman-teman yang sedang bergumul, dan bagi mereka yang tidak menghadiri pertemuan Gereja.

Saya bersaksi bahwa doa menjadi bermakna sewaktu kita meminta dalam iman dan bertindak. Saya mengundang kita semua untuk berdoa dengan iman mengenai mandat yang diberikan kepada kita secara pribadi untuk mengkhotbahkan Injil. Sewaktu kita melakukan hal itu, saya berjanji pintu-pintu akan dibukakan, dan kita akan diberkati untuk mengenali serta menindaklanjuti kesempatan-kesempatan yang akan tersedia.

Setelah Pencobaan Iman Kita

Contoh kedua saya menekankan pentingnya bertekun melalui pencobaan iman kita. Beberapa tahun yang lalu sebuah keluarga melakukan perjalanan ke Eropa dari Amerika Serikat. Tak lama setelah tiba di tujuan mereka, seorang putra yang berusia 13 tahun mulai sakit. Ayah dan ibu benar-benar mengira sakit perutnya disebabkan oleh kelelahan dari penerbangan yang panjang, dan keluarga itu tetap melanjutkan perjalanannya.

Seiring berlalunya hari itu, kondisi anak lelaki itu memburuk. Dehidrasi semakin meningkat. Si ayah memberikan berkat imamat kepada putranya, namun tidak ada kemajuan yang segera terlihat.

Beberapa jam telah berlalu, dan si ibu berlutut di samping putranya, memohon dalam doa kepada Bapa Surgawi untuk kesembuhan anak lelakinya. Mereka jauh dari rumah di negara yang tidak dikenal dan tidak tahu cara memperoleh bantuan medis.

Si ibu bertanya kepada putranya apakah dia mau berdoa bersamanya. Dia tahu bahwa hanya menunggu berkat-berkat yang diantisipasi tidaklah cukup; mereka perlu terus bertindak. Dengan menjelaskan bahwa berkat yang dia terima masih berlaku, dia menyarankan lagi memohon dalam doa, sebagaimana yang para rasul di zaman dahulu lakukan, “Tuhan, tambahkanlah iman kami” (Lukas 17:5). Doa mencakup suatu pengakuan akan kepercayaan dalam kuasa imamat dan komitmen untuk tekun dalam melakukan apa pun yang mungkin diperlukan agar berkat-berkat dianugerahkan—apabila berkat itu pada saat itu selaras dengan kehendak Allah. Tak lama setelah mereka mengucapkan doa yang sederhana ini, kondisi anak lelaki itu membaik.

Tindakan ibu dan anak lelakinya yang penuh iman ini membantu mengundang kuasa imamat yang dijanjikan dan sebagian memenuhi persyaratan bahwa “janganlah kita berbantah karena [kita] tidak melihat, karena [kita] tidak akan menerima kesaksian sebelum pencobaan iman [kita]” (Eter 12:6). Sama seperti penjara yang menahan Alma dan Amulek tidak roboh ke bumi “sampai setelah iman mereka,” dan sama seperti Amon dan saudara-saudara misionarisnya tidak melihat mukjizat besar dalam pelayanan mereka “sampai setelah iman mereka” (lihat Eter 12:12–15), oleh karena itu penyembuhan anak lelaki berusia 13 tahun ini tidak terjadi “sampai setelah iman mereka” dan dipenuhi “sesuai dengan keyakinan mereka dalam doa mereka” (A&P 10:47).

Bukan Kehendaku, Melainkan Kehendak-Mulah yang Terjadi

Contoh ketiga saya menekankan pentingnya mengenali dan menerima kehendak Allah dalam kehidupan kita. Beberapa tahun lalu ada seorang ayah muda yang aktif di Gereja semasa kanak-kanaknya, namun telah memilih jalan yang berbeda selama tahun- tahun remajanya. Setelah melayani dalam kemiliteran, dia menikahi seorang gadis cantik, dan segera anak-anak memberkati kehidupan mereka.

Suatu hari tanpa tanda-tanda apa pun anak perempuan kecilnya yang berusia empat tahun mendadak sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Dalam keputusasaan dan untuk pertama kalinya selama bertahun- tahun, ayah itu mendapati dirinya berlutut dalam doa, memohon agar nyawa putrinya diselamatkan. Namun kondisi putrinya memburuk. Lama kelamaan, ayah ini merasakan bahwa gadis kecilnya tidak akan hidup lagi, dan perlahan-lahan doa-doanya diubah; dia tidak lagi berdoa memohon kesembuhan tetapi memohon pengertian. “Biarlah kehendak-Mu yang terjadi” sekarang adalah permohonannya.

Tak lama kemudian putrinya dalam keadaan koma, dan si ayah mengetahui waktunya di bumi tinggal sedikit. Diperkuat dengan pemahaman, kepercayaan, dan kuasa di luar kemampuan mereka, orang tua muda itu berdoa lagi, memohon kesempatan untuk memeluknya sekali lagi sementara dia masih terjaga. Mata anak perempuan itu terbuka, dan lengannya gemetaran merengkuh orang tuanya untuk pelukan yang terakhir kalinya. Lalu dia pun meninggal dunia. Ayah ini mengetahui doa-doanya telah dijawab—Bapa di Surga yang murah hati dan berbelaskasihan telah menghibur hatinya. Kehendak Allah telah terjadi—dan mereka telah memperoleh pemahaman (disadur dari H. Burke Peterson, “Adversity and Prayer,” Ensign, Januari 1974, 18).

Kearifan dan menerima kehendak Allah dalam kehidupan kita merupakan unsur dasar dari meminta dalam iman dalam doa yang bermakna. Meskipun demikian, sekadar mengucapkan kata-kata, “Kehendak-Mulah yang terjadi,” tidaklah cukup. Kita masing-masing membutuhkan bantuan Allah dalam menyerahkan kehendak kita kepada-Nya.

“Doa adalah tindakan yang melaluinya kehendak Bapa dan kehendak anak dibawa ke dalam korespondensi dengan satu sama lain” (Bible Dictionary, “Prayer,” 752–753). Doa yang rendah hati, sungguh-sungguh, dan terus-menerus memungkinkan kita untuk mengenali dan menyelaraskan diri kita dengan kehendak Bapa Surgawi kita. Dan dalam hal ini Juruselamat menyediakan contoh yang sempurna sewaktu Dia berdoa di Taman Getsemani, “Ya Bapa-Ku, jikalau engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi .… Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa” (Lukas 22:42, 44).

Tujuan dari doa-doa kita hendaknya tidak untuk menyatakan daftar harapan atau serangkaian permintaan—melainkan untuk mendapatkan bagi diri kita dan orang lain berkat-berkat yang Allah ingin anugerahkan, sesuai dengan kehendak-Nya dan waktu-Nya. Setiap doa yang sungguh-sungguh didengar dan dijawab oleh Bapa Surgawi kita, namun jawaban yang kita terima mungkin bukan apa yang kita harapkan atau datang kepada kita ketika kita menginginkannya atau dalam cara kita mengantisipasi. Kebenaran ini terbukti dalam tiga contoh yang telah saya ketengahkan hari ini.

Doa adalah kesempatan istimewa dan hasrat jiwa yang mendalam. Kita dapat mengucapkan lebih dari sekadar doa-doa rutin serta “seperti sebuah daftar” dan terlibat dalam doa yang bermakna sewaktu kita dengan benar meminta dalam iman dan bertindak, sewaktu kita dengan sabar tekun melalui pencobaan iman kita, dan sewaktu kita dengan rendah hati mengakui serta menerima “bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Saya bersaksi mengenai kenyataan dan keilahian Bapa Kekal kita, mengenai Putra Terkasih-Nya, Tuhan Yesus Kristus, dan mengenai Roh Kudus. Saya bersaksi bahwa Bapa kita mendengar serta menjawab doa-doa kita. Semoga kita masing-masing berusaha dengan tekad yang lebih besar untuk meminta dalam iman sehingga menjadikan doa-doa kita sungguh-sungguh bermakna. Saya berdoa dalam nama kudus Tuhan Yesus Kristus, amin.